Mohon tunggu...
Guid Cardi
Guid Cardi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Alumni Fisip Universitas Sriwijaya Palembang

Pegiat Kepemiluan

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Partisipasi atau Mobilisasi: Catatan Pinggir dari Pemilu Serentak 2019

17 Juni 2019   17:00 Diperbarui: 17 Juni 2019   17:28 596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Partisipasi atau Mobilisasi 

 (Catatan Pinggir dari Pemilu Serentak  2019)

Oleh: Guid Cardi

Pendahuluan

Pemilihan Umum,  Pemilu 17 April 2019  baru saja berlangsung yang hingga saat ini sedang dalam tahapan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK). Pemilu yang  diselenggarakan secara serentak antara Pemilu Legislatif  dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilhan Umum, sebagai Pemenuhan terhadap putusan MK No. 14/PUU-IX/2013 yang mengatur pemilu serentak tahun 2019. Undang-undang tersebut  merupakan Undang-undang yang merangkum 3 (tiga) undang-undang yang berkaitan dengan Pemilu yakni, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD serta Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.  Undang-Undang ini dimaksudkan juga untuk menegaskan sistem Presidensiil yang kuat dan efektif, di mana Presiden dan Wakil Presiden terpilih tidak hanya memperoleh legitimasi yang kuat dari rakyat, namun dalam rangka mewujudkan efektivitas pemerintahan dengan basis dukungan DPR.

Secara Nasional, Pemilu  ini  diikuti oleh 2 (dua) pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014, 16 Partai Politik Nasional dan 4 Partai Lokal Aceh, serta Ribuan Calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Tidak kurang 192.770.611 pemilih laki-laki dan perempuan yang terdaftar di dalam maupun di luar negeri(DPT),  bertambah sekitar 3,77% dari  DPT pada Pemilu 2014, tersebar di 34 Provinsi, 514 Kabupaten/Kotadan  di lebih dari 800.000 Tempat Pemungutan Suara (TPS).  Khusus di wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tidak kurang dari 932.569 pemilih laki-laki dan Perempuan telah terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT tersebar di 7 kabupaten/Kota, 47 Kecamatan, 391 Desa Keluarahan. Tidak kurang  juga dari 2.718 pemilih dengan kondisi disabilitas yang juga diharapkan dapat berpartisipasi dan terlayani dalam hajatan 17 April 2019 itu.

 Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU-RI) telah menetapkan 77,75 % sebagai angka kehadiran (partisipasi) pemilih di TPS (Tempat Pemungutan Suara ) secara nasional pada Pemilu 2019.  Angka ini tentu tidak berlebihan , menyesuaikan dengan perkiraan penambahan DPT, sedikit lebih besar dari realisasi angka partisipasi pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 yang sebesar 71,17 % (KPU,2014) dari sejumlah 111.384.220 pemilih laki-laki dan perempuan dalam  Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun  2014.

 Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (21/5), telah pula mengumumkan angka kehadiran Pemilih ( Partisipasi) di TPS pada Pemilu 17 April 2019 khusus Pemilu Presiden dan Wakil Presiden mencapai 158.012.498, atau setara  81, 97 %, naik 10, 80 % dibanding pada Pemilu 2014, atau  4,2 % di atas target Nasional. Termasuk di Wilayah Provinsi Bangka Belitung dari 932.569 Pemilih dalam DPT, 86,52 % Pemilih juga hadir di 3.803 TPS yang disediakan, naik 19,59 % dibandingkan dengan Pemilu 2014.

Tabel . Perbandingan

Partisipasi Hasil Pemilu Presiden Dan Wakil Presiden 2014 dan 2019

No

Katagori

Pemilu 2014

Pemilu 2019

Selisih

1

Daftar Pemilih Tetap (DPT) Nasional

111,384,222

192,770,611

81,386,389

2

Pemilih Yang Hadir di TPS ( Nasional)

79,273,876

158,012,498

78,738,622

3

Pemilih Yang Tidak Hadir di TPS ( Nasional)

32,110,346

34,758,113

2,647,767

4

Persentase Kehadiran Pemilih di TPS (Nasional)

71.17

81.97

10.80

5

Persentase Ketidakhadiran Pemilih di TPS (Nasional)

28.83

18.03

10.80

Bangka Belitung

6

Daftar Pemilih Tetap (DPT) Babel

925,058

932,569

7,511

7

Pemilih Yang Hadir di TPS (BaBel)

619,174

806,891

187,717

8

Pemilih Yang Tidak Hadir di TPS Babel

305,884

125,678

180,206

9

Persentase Kehadiran Pemilih di TPS Babel

66.93

86.52

19.59

10

Persentase Ketidakhadiran Pemilih di TPS  Babel

33.07

13.48

19.59

Sumber: KPU-RI, 2014 dan 2019

Perilaku Pemilih pada Pemilu 

Pemilu sejatinya adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpin-pemimpinnya yang akan memerintah di eksekutif dan legislatif. Dalam negara yang secara konstitusional mengakui dan melaksanakan demokrasi sebagai sistem politiknya, maka rakyatlah yang  memutuskan siapa-siapa saja calon-calon yang dapat diberikan kepercayaan untuk memimpin pemerintahan itu, baik di tingkatan nasional ataupun  lokal. Hal ini kemudian oleh KPU dapat dimaknai dalam salah satu Tag line sebagai salah satu bentuk kedaulatan Pemilih—Pemilih Berdaulat. 

Sepertinya sudah lazim juga terjadi,  Pada setiap Pemilu atau Pemilukada, ada sejumlah pemilih yang tidak hadir dan tidak menggunakan (hak) suaranya. Data Pemilih yang tidak hadir di TPS seperti yang ditunjukan tabel di atas masih cukup banyak, meskipun pada Pemilu 17 April 2019 terjadi penurunan hampir separuh.  Hal inipun juga dapat dilihat dari kehadiran pemilih di Provinsi Bangka Belitung pada Pemilu 2014 sampai dengan Pemilu 2019 .  Pada Pemilu 2014  angka Ketidakhadiran Pemilih di TPS mencapai 33,07%, sedangkan pada Pemilu 2019 ketidakhadiran Pemilih di TPS mencapai 13,48 % atau turun hampir separuhnya dari pada Pemilu 2014.

Ketidakhadiran  ini mungkin tidaklah tepat kalau ingin disebut sebagai golongan putih (golput).  Sejatinya, kaum  Golput itu tetap hadir dan datang di TPS-TPS dan menggunakan suaranya. Hanya  saja pilihannya adalah tidak memilih calon manapun sehingga surat suaranya tampak bersih tanpa tanda coblosan atau tanda lainya yang berakibat suaranya menjadi tidak sah saja,  akan tetapi lebih dapat disebut sebagai pemilih yang tidak hadir di TPS atau tidak datang di TPS, atau tidak ikut pemungutan suara Pemilu saja.

Keikutsertaan atau kehadiran pemilih di TPS-TPS yang memberikan suara pada Pemilu ataupun Pemilukada, di dalam Ilmu Politik merupakan salah satu bentuk kegiatan partisipasi politik seseorang  warga negara di dalam proses politik, atau sering pula dapat digeneralisasi dengan Istilah Partisipasi Politik. Akan tetapi, memberikan suara dalam Pemilu tidak merupakan satu-satunya bentuk partisipasi politik, masih banyak bentuk atau kegiatan partisipasi politik yang lainnya. Suatu bentuk partisipasi yang agak mudah untuk diukur intensitasnya adalah perilaku warga negara dalam Pemilihan Umum, antara lain melalui perhitungan prosentase orang  yang menggunakan suaranya (hadir di TPS) di banding dengan jumlah warga negara yang berhak memilih menurut jumlah Daftar Pemilih tetap-DPT, (lihat Miriam Budiardjo,1998).

Kehadiran dan ketidakhadiran pemilih dalam Pemilu di tempat pemungutan suara dapat dipahami  pula sebagai  suatu perilaku warga negara dalam Pemilihan Umum. sebagai perilaku, kehadiran dan ketidakhadiran pemilih dalam pemungutan suara Pemilihan Umum, mestilah dapat dilihat secara seksama dan hati-hati. Sebagai sebuah perilaku, maka  interaksi warga negara—yang    berarti-individu-individu dewasa yang sekurang-kurangnya telah berumur 17 tahun atau telah menikah dan tidak sedang dicabut hak pilihnya—dengan lingkungannya, akan menentukan perilaku (sekurang-kurangnya sikap atau pilihan)  hadir atau tidak hadirnya warga negara dalam Pemilihan Umum, dalam hal ini, karakter warga negara—pemilih—individu-individu atau masyarakat dewasa  khususnya  di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (lihat Miftah Thoha,1996)

Berdasarkan pengalaman-pengalaman dalam penyelenggaraan Pemilu dan Pemilukada, dapat dipahami juga, pemilih yang hadir di TPS dan memberikan suaranya, juga berpotensi mempunyai perilaku yang  bermacam ragam.  Dilihat dari akibatnya, perilaku pemilih ini dapat dikategorikan, yaitu : pertama, perilaku pemilih yang hadir di TPS dan memberikan suara yang dihitung sebagai suara sah. Dalam kategori ini, hanya Pemilih yang memberikan suara kepada satu calon saja, tidak lebih dari itu, dan menurut peraturan perundang-undangan ini dikategorikan sebagai suara sah.

Kedua,  perilaku pemilih yang hadir di TPS dan memberikan suara yang dihitung sebagai suara tidak sah. Pemilih dapat  saja memberikan suara dan kepercayaan kepada lebih dari satu calon, yang menurut pengalaman dan penilaian serta pengetahuan pemilih semua atau beberapa calon itu sama-sama baiknya, sehingga beberapa calon atau semuanya layak mendapat kepercayaan pemilih dimaksud. Atau dapat juga tidak memberikan suara ke calon manapun (suara kosong) yang kemudian sering disebut sebagai golongan putih (golput). Hal  inipun bisa saja terjadi mungkin karena menurut pengalaman dan penilaian serta pengetahuan pemilih semua calon itu sama-sama tidak baiknya, sehingga semua calon  layak tidak  mendapat kepercayaannya. Atau pemilih dapat saja merusak suaranya, misal dengan cara merobek surat suaranya.  Pilihan-pilihan ini dapat dibenarkan, tetapi dihitung sebagai suara tidak sah.

Ketidakhadiran Pemilih  juga haruslah dipahami secara hati-hati pula.  Jika dilihat dari alasan Ketidakhadirannya itu  dapat dikatagorikan dalam dua kelompok yakni: pertama pemilih tidak hadir atau tidak datang ke TPS  karena alasan teknis, yaitu  pemilih yang tidak hadir atau tidak datang di TPS karena tidak (belum) mendapatkan kartu pemilih , Pemberitahuan atau undangan untuk memilih .

kedua pemilih tidak hadir atau tidak datang ke TPS  karena alasan non-teknis antara lain adalah kesadaran dari pemilih untuk tidak hadir, atau karena pengetahuan dan pengalaman terhadap situasi dan kondisi yang nyata. atau kerena alasan-alasan tertentu pula, misalnya  karena pertimbangan ekonomi dan pekerjaan bagi buruh tambang, perkebunan, nelayan yang berarti kehilangan pendapatan atau penghasilan jika hadir di TPS dan harus meninggalkan pekerjaannya. Atau  dapat pula, karena telah meninggal dunia, sebab pada saat  daftar Pemilih tetap di susun dan ditetapkan Pemilih yang bersangkutan masih hidup, tetapi pada saat sebelum hari pemungutan suara sudah meninggalkan dunia, atau pindah domisili keluar daerah pemilihan. Atau  karena tugas belajar khususnya mahasiswa/pelajar  yang ada diluar daerah, Meski untuk alasan-alasan seperti ini sudah dapat diminimalkan dengan menempuh prosedur pindah memilih sebagaimana telah di atur dalam peraturan perundang-undangan yang ada.

Memang, penjelasan perilaku seperti ini haruslah di dukung dengan data yang akurat, Penyelenggara Pemilu tentulah tidak  dapat memaksakan Pemilih untuk hadir di TPS-TPS, paling hanya persuasi atau sosialisasi atau mengajak ataupun menghimbau saja. Ketidakhadiran yang disebabkan karena alasan teknis, tentunya penyelenggara pemilu berupaya semaksimal mungkin agar dalam tahapan distribusi kartu pemilih atau Pemberitahuan  dan undangan pemilih sampai ke pemilih yang bersangkutan sehingga bermanfaat bagi pemilih.

Masih Tingginya ketidakhadiran pemilih seperti itu, dari sisi keuangan negara ini dapat dipandang sebagai aktivitas yang merugikan keuangan negara.  Katakanlah 18,03 % pemilih yang tidak hadir di TPS dan tidak menggunakan haknya, maka pemilih tersebut telah berpotensi merugikan keuangan negara sebesar 18,03 % dari anggaran Pemilu. Padahal penyelenggara Pemilu dan Pemerintah menyiapkan anggaran penyelenggaraan Pemilu untuk seluruh warga negara yang berhak memilih sesuai Daftar Pemilih Tetapnya.

Namun demikian Sebagai perbandingannya saja, di Amerika Serikat, sebagai negara dengan klaim negara paling demokratis di dunia,  negara super power dan negara maju, persentase orang atau warga negara yang tidak memberikan suara bertambah dari 21 % pada tahun 1896, menjadi 32,3% pada tahun 1968, 40,8% pada tahun 1976 dan 53 % pada tahun 1990, (Miriam Budiardjo,1998).  Maka, bandingkan dengan NKRI, yang baru menggelar pemilu sejak tahun 1955 hingga 2019. 

Kalaulah Pemilu dalam kontekstualnya sebagai proses pengambilan Keputusan yang melibatkan warga negara, orang atau pemilih yang  tidak hadir pada hari dan tanggal pemungutan suara (pencoblosan), kelompok ini layaknya disebut sebagai kelompok apatis (B.N Marbun,2007) atau kaum apatisan atau apolitis (Miriam Budiardjo,1998) , Oleh karena bersikap acuh tak acuh, atau tidak peduli sama sekali, dengan memilih untuk tidak hadir pada pemilihan umum, namun dengan konsekuensi harus menerima dan mengikuti suara pemenangnya. Tentunya  hal ini bukanlah suatu perilaku politik yang diharamkan dalam Negara merdeka yang menganut demokrasi sebagai sistem politiknya, dengan pemahaman bahwa memilih pada pemilihan umum adalah hak asasi politik warga negara  bukan kewajiban, termasuk memilih untuk hadir ataupun tidak hadir di TPS-TPS.

Partisipasi atau Mobilisasi 

Istilah Partisipasi dan Mobilisasi dalam politik (Pemilu) digambarkan dengan sangat jelas oleh Prof. Miriam Budiardjo (1998) dalam bukunya ” Partisipasi dan Partai Politik”  dan Profesor. M. Dawam Rahardjo (1996), dalam bukunya“ sistem Pemilu: Demokratisasi dan Pembangunan”, dengan satu pemaknaan yang membedakan keduanya bahwa adanya keterlibatan aktif warga negara secara sadar atau tidak sadar dalam proses-proses  demokrasi—pemilu, dan dengan atau tanpa paksaan.

Dalam Negara yang menganut demokrasi sebagai sistem poltiknya, Partisipasi warga Negara dalam Pemilu tentu dipandang sebagai serangkaian aktivitas warga negara untuk aktif terlibat secara sadar tanpa paksaan dalam proes-proses demokrasi (baca Pemilu). Sebaliknya, Mobilisasi meskipun dianggap sebagai keterlibatan warga negara dalam proses-proses Politik (baca: Pemilu) , akan tetapi lebih mengedepankan aktivitas penguasa (pemerintah) secara memaksa atau intervensif dan terencana sebagaimana dilakukan oleh pemerintah untuk menghimpun seluruh kekuatan untuk digunakan menghadapi perang-permusuhan (BN. Marbun,2007).

 Partisiasi Politik yang paling mudah untuk mengukurnya adalah dengan melihat angka keterlibatan warga negara dalam aktivitas pemungutan suara di tempat-tempat pemungutan suara. Lantas, dengan angka kehadiran pemilih (warga Negara) pada Pemilu 2019 secara nasional yang hanya mencapai 81,97%  dan secara local Bangka Belitung yang mencapai 86,52 % dapatkah dianggap sebagai aktivitas Partisipasi politik aktif warga Negara atau aktivitas mobiliasi politik dari pemerintah-penguasa.

Angka Partisipasi 81,97 % ini tidak lah terlalu buruk, jika dibandingan dengan dengan klaim negara paling demokratis di dunia,  negara super power dan negara maju, dimana persentase orang atau warga negara yang tidak memberikan suara bertambah dari 21 % pada tahun 1896, menjadi 32,3% pada tahun 1968, 40,8% pada tahun 1976 dan 53 % pada tahun 1990, (Miriam Budiardjo,1998).  Setidaknya hal ini mencerminkan tiga hal penting yaitu, Pertama, 81,97% Pemilih ( warga Negara Dewasa) masih mempercayai dengan sistem politik demokrasi (baca: Pemilu). Hal ini dapat dilihat pula dari tidak banyaknya keberatan/perlawanan terhadap norma/aturan yang ditetapkan dengan melalui uji terhadap aturan Penyelenggaraan Pemilu. Dalam catatan Penulis, ada beberapa Uji materi peraturan perundang-undangan yang sempat dilakukan oleh warga Negara (pemilih) antara lain, terkait UU Nomor 7 tahun 2017 berkenaan dengan penyelenggara Pemilu terkait Jumlah Anggota KPU KAbupaten/Kota, Anggota Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota; uji materi terkait persyaratan pindah memilih bagi pemilih yang tidak bisa memilih di TPS asal sesuai tempat tinggal Pemilih, serta Uji materi Peraturan KPU Nomor 20 tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPD dan DPRD terkait persyaratan yang membatasi Partai politik dan Calon yang pernah dipidana penjara karena melakukan tindak pidana korupsi. Hal ini juga menggambarkan bahwa aturan yang telah ditetapkan memberikan kepercayaan kepada pemilih dan peserta untuk melaksanakan ketentuan yang ada di dalamnya.

Kedua, 81,97% pemilih, menaruh kepercayaan kepada Penyelenggara Pemilu. Penyelenggara Pemilu yang Profesional, akuntabel, berintegeritas dan lain sebagainya yang memenuhi ekspektasi Pemilih, tentu memberikan kepercayaan kepada Pemilih bahwa hak-hak politiknya dapat terlayani secara maksimal oleh penyelenggaranya. Hal inipun kemudian menjadi penyemangat bagi penyelenggara pemilu (KPU) dengan Tagline, KPU Melayani.

 Ketiga, 81,97 % Pemilih percaya dengan hasil—output pemilu. Hasil Pemilu, tidak semestinya hanya menganggap bahwa Pasangan calon tertentu atau Parpol  dan calon mendapat perolehan sejumlah suara atau kursi,  Akan tetapi serangkaian hasil—output yang dihasilkan oleh proses-proses tahapan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu. Daftar  pemilih Tetap, daftar Calon Tetap Presiden dan Wakil Presiden—Partai politik peserta pemilu—Daftar Calon Tetap anggota DPD, DPR dan DPRD,  adalah output yang dihasilkan dalam serangkaian aktivitas penyelanggaraan pemilu. Penting juga dalam hal ini adalah, penegakan norma-aturan penyelenggaraan oleh Bawaslu dan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu), karena hal ini akan memberikan dampak semakin menguatnya kepercayaan pemilih kepada sistem penyelenggaraan pemilu dan kepada penyelenggaranya, disamping hadirnya para kandidat (calon) yang memenuhi harapan public-pemilih.**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun