Seperti orangtua dan sanak saudara, nama Kampung Hita selalu menempel di benak -- ke mana pun saya pergi. Begitulah, tempat kelahiran acapkali menjadi "sesuatu".
Selain mengenang peristiwa kelahiran di Kampung Hita, saya bersama kedua orangtua beserta kakak adik mengalami begitu banyak kisah hidup yang luarbiasa.
Jika diibaratkan dengan sebuah pertunjukkan seni, perjalanan hidup kami di Kampung hita begitu spektakuler [ekstravaganza].
Di Kampung Hita, kami tak hanya berproses dengan lingkaran terdekat--keluarga batih, tapi juga dengan lingkaran di luar itu--bersosialisasi dengan lingkungan sekitar, tetangga, kenalan, dlsb.
Sebagai "orang luar", kehadiran kami dulunya di Kampung Hita begitu disambut dengan baik oleh warga sekitar. Selebihnya, kami diperlakukan layaknya diri mereka yang lain.
Tentu saja suasana yang tercipta sedemikian gayup itu berimpilkasi pada keharmonisan bermasyarakat, atau dalam wujud yang lain sebagai "asuransi sosial".
Tak pelak, bertolak daripada hal-hal baik itu, sedemikian mampu membangkitkan rasa memiliki di dalam diri kami terhadap Kampung Hita, tak terkecuali rumpun warga di dalamnya, tentu saja.
Lebih lanjut, sebagian dari masa kecil saya dihabiskan di Kampung Hita. Di sana saya memiliki banyak teman sepermainan.
Termasuk di beberapa kampung di sekitarnya [untuk menyebut Kampung Nawor, Pau, dan Kangkol] karena berapa kampung itu merupakan rute berkelana kami sesaat masih ingusan dulu.
Namun, kini, rerata dari kawan-kawan saya itu sudah menikah dan punya anak [terkecuali saya, ya, karena jodoh masih dalam proses pencarian. Heu heu heu].
Tak kurang setelah 20-an tahun "hijrah" dari Beo Hita, deretan peristiwa dan kenangan tentangnya terus hidup di dalam batok kepala. Begitu pula tatkala bersua dengan teman lama dari Hita, pasti ada banyak hal yang didiskusikan.