Mohon tunggu...
Guıɖo Arısso
Guıɖo Arısso Mohon Tunggu... Insinyur - ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kaum Muda Manggarai Enggan Bertani karena 2 Hal Ini...

19 Mei 2021   22:13 Diperbarui: 20 Mei 2021   13:15 1055
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu-ibu menyiangi sawah di Lembor, Kabupaten Manggarai Barat, Senin (25/9/2017). (Kupang.tribunnews.com)

Kisutnya jumlah angkatan muda yang bekerja di sektor pertanian saat ini sudi kiranya menjadi perhatian serius pemerintah daerah dan tentu saja semua pihak di Manggarai.

Tersebab mayoritas masyarakat Manggarai itu bertumpu pada hasil pertanian untuk tetap survive. Paling tidak sejarah sudah membuktikan hal itu.

Tulisan ini juga hadir sebagai dasar epistemologis pilihan sikap kita dalam melihat seperti apa fungsi dan peranan kaum muda Manggarai pada sektor pertanian masa kini dan di masa yang akan datang.

Ada sebuah fenomena menarik yang terjadi di pedesaan Manggarai akhir-akhir ini namun, tak begitu terasa. Yakni, jumlah angkatan muda yang bekerja di sektor pertanian sudah mulai terjun bebas.

Pembaca saleh sekalian tahukah alasan yang melatarbelakanginya? Atau adakah di antara kita yang bisa menerka-nerka apa picu yang melatuk kaum muda saat ini enggan terjun ke ladang?

Saya juga kurang tahu pasti. Tetapi, dugaan saya sejauh ini, menurunnya produktivitas pertanian kita selama ini imbas dari kurangnya partisipasi kaum muda (terkhusus golongan terpelajar). Sehingga yang masih setia membajak sawah kini tinggal generasi tua saja dan sebagian kecilnya pemuda desa.

Tentu saja, minimnya partisipasi kaum muda di sini tak hadir sebagai motif tunggal, tapi karena ada kabut tebal di baliknya yang sekurangnya dapat dibabar ke dalam poin-poin berikut ini;

Pertama, karena kaum muda kita telah dibelenggu oleh idiom lawas "petani itu profesi picisan, maka kuburlah mimpimu untuk jadi petani."

Tak berhenti di situ, idiom itu lalu dipertegas oleh nasihat demonstratif orangtua; "Cukup kami saja yang jadi petani, kamu jangan. Jadilah sarjana (guru atau mantri) biar kerjanya di dalam ruangan dan tidak dipanggang terik matahari."

Idiom dan/atau anggapan-anggapan itu sedini dianggap sebagai keyakinan/kebenaran mutlak (idefix) serta turut membentuk pola pikir kaum muda dalam melihat petani--sebagai profesi yang kelak tidak akan banyak membantu mereka.

Sebetulnya, anggapan seperti itu tidak murni salah kaprah. Melainkan ada benarnya juga.

Namun, tentu saja kita tidak boleh menutup mata pada cerita sukses para petani di pedesaan Manggarai yang berhasil meningkatkan taraf hidupnya melalui pengembangan usaha di bidang pertanian. 

Saya kira, banyak konsituen yang bisa dijadikan contoh, walau dalam ranah ini incomenya tidak setara dengan apa yang didapat oleh pekerja formal, seperti guru dan mantri yang berstatus ASN, misalnya.

Baca juga: Pertanian Subsistensi dan Sosiologis Petani Manggarai

Tak jarang kita juga menyaksikan para pekerja formal yang menyaru jadi petani, atau bekerja sampingan sebagai petani. Baik itu menjadi petani padi (sawah) juga pekebun (lahan kering).

Dan kalau diperhatikan, mereka tampak hepi-hepi saja menekuni pekerjaan itu. Justru malah dari usaha di sektor pertanian inilah mereka bisa mendapatkan keuntungan lebih dan mampu menutupi segala keperluan.

Kabar baiknya pula para pekerja formal ini tidak terjebak pada idefix petani itu profesi medioker. Sehingga bertolak dari hal itu, terkadang saya bertanya-tanya, apakah motivasi "jangan menjadi petani" ini hanya ada di dalam rumah tangga petani saja?

Lebih daripada itu, saya kira, delik masalahnya hanya ada pada mindset. Bahwa, betul, bila zaman dulu sektor pertanian kurang menggairahkan karena tidak disokong oleh sistem pertanian yang memadai berikut dibantu oleh alat-alat pertanian modern. Sehingga anggapan miring profesi petani tidak bisa dielakkan.

Akan tetapi, berbeda halnya dengan zaman kiwari yang notabene sistem pertanian modern (seperti adanya bantuan benih, subsidi pupuk, alat-alat pertanian) sudah berangsur masuk, pertanian kita di Manggarai sudah mengalami pembaharuan walau tidak menyeluruh dan berdampak signifikan.

Namun, paling tidak perubahan itu kita bisa rasakan. Saya kira, atas dasar alasan itulah, kaum muda Manggarai perlu mempertimbangkan untuk menyaru jadi petani di desa. Toh tidak ada salahnya memulai bertani meski dalam skala kecil misalnya. 

Tentu saja sambil berharap pemerintah daerah beserta dinas-dinas terkait terus menyalurkan bantuan alat-alat pertanian demi mendongkrak produktivitas pertanian.

Apalagi kalu dipikir-pikir, bertani di desa merupakan kosekuensi logis. Lantaran, di desa tersedia lahan yang sangat luas untuk bercocok tanam. Bukan begitu, kawan?

Kedua, faktor gengsi. Saya pikir, gensi ini masih setali tiga uang dengan idom lawas orang desa dalam memandang profesi petani.

Perilaku gensi ini tak hanya menyasar kaum terpelajar, tapi juga hampir semua kaum muda di desa. Sebagai profesi alternatif, pertanian di desa sedemikian ditinggalkan dan memilih untuk merantau ke luar daerah untuk bekerja di sektor jasa maupun non-formal.

Sekali lagi, pandangan muda-mudi seperti itu tidaklah keliru. Tapi, coba realistis saja, kawan!

Perlu diingat, ada satu hal dasariah yang harus kita camkan bahwa, kita di Manggarai memiliki kebudayaan agraris yang sangat kental. Dan pertanian merupakan soko guru ekonomi di pedesaan. Kita menggantungkan hidup darinya.

Dan untuk perkara malas dan/atau gengsi, ingat kita adalah orang-orang yang dilahirkan dari rahim seorang ibu yang kuat. Bapak kita adalah petarung tunggal nan tangguh serta mampu memberi kita makan dari tanah gersang dan tandus.

Saya kira, makna filosofisnya itu, ya. Jadi, coba pikirkan dan renungkanlah. Pertanian Manggarai hari ini dan seterusnya sangat membutuhkan kontribusi anak muda.

Dengan begitu, tak ada alasan yang cukup kuat bagi kita, generasi muda Manggarai, untuk menunjukkan gelagat gengsi. Ayo, ke ladang dan sawah!(*)

Semoga bermanfaat.

Salam Cengkeh

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun