Sisi lain, ada yang tipenya fanatik-radikal dan ada juga yang santuy sekadar cuap-cuap.
Yang membuat situasi kian seru dan menegangkan ialah ulah para penggemar fanatik-radikal dari kedua kesebelasan ini.
Tersebab, mereka kerap membuat ulah hingga acap kali memprovokasi pemain yang ada di tengah lapangan. Komentar-komentarnya kerap memancing emosi, hingga menantang suporter lain yang berakhir pada gesekan dan baku pukul.
Terlebih-lebih bila tiba pada partai puncak/ final, rawan sekali konflik karena kedua finalis sama-sama memiliki hasrat untuk keluar sebagai kampiun.
Meski ada gesekan dan adu fisik, baik antar sesama pemain juga suporter, tidak lama berselang pada akhirnya rangkulan dan saling berpelukan lagi. Tidak di bawa dendam sampai ke ulu hati
Selalu Menjadi Perdebatan
Diskursus sepak bola dalam rangka merayakan Pentakosta di paroki saya kerap memunculkan perdebatan sengit dikalangan gereja dan umat. Kendati demikian setiap tahun turnamen ini tetap diadakan menjelang Pentakosta.
Terkecuali pada momen Pentakosta tahun 2016 silam, turnamen ini sempat tidak di selenggarakan oleh pihak gereja, ihwal telah menorehkan sejarah kelam. Yakni, terjadi kasus pembacokan sesama suporter, namun tidak sampai meninggal dunia.
Yah, lagi-lagi karena ulah supporter sekte die hard tadi. Namun tak lama setelahnya mereka baikan dan meminta maaf.
Fakta lain juga menyuguhkan bahwa, pihak gereja dan dewan paroki sengaja menyelenggarakan turnamen ini tak lain untuk sekadar menghadirkan hiburan ke tengah-tengah umat. Selebihnya, menyaring bibit-bibit pemain bola yang memiliki bakat untuk menjadi pemain hebat.
Yang pada akhirnya akan masuk dalam tim inti desa, kecamatan ataupun tingkat kabupaten/kota. Bibitnya disemaikan salah satunya lewat turnamen pasca momen pentakosta ini.