Mohon tunggu...
Go Teng Shin
Go Teng Shin Mohon Tunggu... -

Menulis dengan Data dan Logika.\r\nHobby tertawa, tinggal di Jakarta Barat

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ahok dan Euforia Turunan Singkek

30 Maret 2016   10:49 Diperbarui: 1 April 2016   00:59 15434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Percuma bicara rasional pada mereka. Mau itu turunan Singkek yang bermukim di Papua, Solo, Jakarta atau Australia. Mau itu pensiunan yang biasanya bijak, notaris, pendekar atau penulis bertampang ABG piyik. Mau itu pemuka masyarakat, pemimpin organisasi, atau penjaga kios dan penjual martabak. Mau yang berpendidikan tinggi, bergelar Doktor atau lulusan SD. Dari gaek sampai yang baru tanggal gigi susu. Sikapnya sama saja, rasionalitasnya tiba-tiba hilang, tiba-tiba jadi chauvinist akut. Mereka akan mencarikan seribu dalil untuk membela kelakuan Ahok, ziji ren; sementara membalikkan dalil serupa kepada lawan Ahok, wai ren (orang luar). Kalau ada yang protes, langsung dituduh diskriminatif, rasis, melakukan provokasi SARA.

Di belakang Ahok ada sembilan naga? So what gitu lho, 9 naga ziji ren, orang sendiri. Ahok menelikung Prabowo yang mengangkatnya, lha itu bodohnya Prabowo sendiri. Ahok gusur Kalijodo dalam seminggu dengan bekingan polisi terus kepolisian dapat hibah fasilitas parkir Rp 70 miliar? Duh, pinter ya Ahok. Ahok pakai APBD? Lantas kenapa, kan wewenang Ahok untuk neken. Yang membangun tempat parkir dan kemungkinan dapat konsesi di bekas Kalijodo adalah APL? APL yang sama yang dikasih izin reklamasi cacat hukum oleh Ahok, yang ngasih tanah taman BMW bodong sebagai fasum fasos? APL ziji ren-lah, dimana salah Ahok? Ahok mesra dengan Podomoro dan para konglomerat? Hebat ya Ahok dalam mengelola guanxi, siapa yang tidak ingin!

Mentalitas Singkek melihat melejitnya Ahok adalah Cai Lu, jalan kekayaan, sesuatu yang harus dibanggakan dan didukung habis-habisan. Ahok adalah akhir dari impotensi politik sejak musnahnya Baperki. Bukannya mereka tak sadar Ahok banyak ngga beresnya, tapi itu tidak penting, lebih baik EGP, ngapain dipikirin, ngapain dipersoalkan,ngapain dibahas, yang lebih jelek kan banyak?

Begitulah para turunan yang memiliki Mentalitas Singkek kental itu. Berbondong-bondong mereka mengerubuti booth Teman Ahok, mengisi formulir, menyerahkan KTP. Generasi bapak ibu bawa formulir Ahok ke pasar,  gereja,  kopitiam, perkumpulan sosial. Anak-anaknya main sosmed, menjadi cyber bully, menyerang membabi buta para lawan Ahok di dunia maya. Relawan mengantar formulir ke kantor, rumah, pabrik. Formulir disodorkan ke karyawan tanpa memandang opini mereka, dari halus sampai memaksa, menyuruh setor KTP. Sedemikian euforia, bermimpi Ahok bisa menjadi  juru selamat. Jangankan jadi Gubernur, jadi Presiden pun bisa. Berkampanye di kelenteng, bikin kesaksian di gereja, bahwa Ahok diberkati Tuhan jadi pemimpin, bahwa Ahok adalah hal terbaik yang terjadi pada Indonesia.

Tidak perlulah kita berpura-pura tak tahu apa basis dukungan Ahok. Mengapa Teman Ahok buka booth di mall-mall? Dimana mayoritas lokasi posko pengumpulan KTP untuk Ahok? Bukannya tidak menghargai 5 orang yang digadang media sebagai pencetus Teman Ahok, toh semakin terungkap mereka ini tampaknya karyawan atau perpanjangan dari konsultan politik Cyrus Network.

Salahkah itu? Ya tidak salah. Mentalitas eksklusif bukan hanya milik Singkek. Wajar apabila kita mendukung sesama etnis, sesama agama, sesama kampung halaman. Masalahnya mengapa Ahok dan timsesnya mesti menggunakan isu ini buat pihak lain; sementara buat Mentalitas Singkek sudah jelas-jelas dukung Ahok adalah harga mati? Kok pihak lain yang minta agar memilih yang seetnis dan seagama sendiri mesti diserang? Jika buat Singkek, Ahok adalah pilihan absolut; kenapa pihak muslim tidak boleh meminta pilih yang seiman? Kenapa menuduh pihak lain diskriminatif sementara Ahok sebagai pilihan satu-satunya toh sama diskriminatifnya, karena tak mungkin lagi mereka bisa menimbang secara obyektif atas Ridwan Kamil, Riesma, Adhyaksa Dault, Idrus?

Jualan SARA memang kelewat melekat pada bahasa kampanye Ahok. Istilah ‘kafir’ dipanteng terus menerus. Website timsesnya saja tidak bisa tidak membawa nama Islam, dari yang toleran kemudian diganti NKRI. Pikiran sendiri sedemikian picik, mengapa menghakimi pihak lain?

Letjen Suryo Prabowo berkali-kali mengingatkan ‘apabila yang kecil tahu diri, maka yang besar akan mengerti’. Sadarkah para Tionghoa yang mewarisi Mentalitas Singkek akut, sikap Ahok yang menyakiti mayoritas? Butakah mata mereka melihat Ahok menggusur orang miskin secara tidak semena-mena? Wilayah Kalijodo baru ditetapkan sebagai RTH pada akhir 2014 sehingga banyak yang tidak mengerti. Lalu setelah terjadi kasus tabrakan Fortuner, tiba-tiba saja Kalijodo mau digusur dan warga diberi waktu satu minggu untuk pindah. Manusiawikah?

Polisi, tentara dengan tank dan excavator dihadapkan pada rakyat di Kampung Pulo dan Kalijodo. Orang dibiarkan kehilangan tempat berteduh seketika tanpa persiapan. Penggusuran dijadikan panggung politik dan pameran arogansi penguasa. Kalijodo dianggap hanya pusat bisnis lendir kaum marjinal yang tak punya sertifikat. Kalau mau ganggu gugat Malioboro atau Alexis, GILA, bisnis sah ziji ren kok mau diganggu?! Penggusuran Kampung Pulo wajar dong, hanya penghuni liar di bantaran sungai. Sementara penghuni Pluit dan Kelapa Gading yang berdiri di atas tanah resapan adalah pemilik sah tanah bersertifikat, tidak boleh diganggu karena RUTR sudah dibeli pakai duit. Pahamkah para pengidap mental Singkek akut ini, bahwa sikap bermuka dua, double standard, munafik dan bullying itu menyakiti orang lain? Arogan karena punya duit, dan bangga bahwa kuasa duitnya bisa mendikte pejabat di negeri ini?

Tulisan ini tidaklah bertujuan untuk menyerang secara SARA, melainkan introspeksi dari seorang turunan Singkek terhadap perilaku sesamanya. Bagaimana saya bisa disebut rasis dalam mengkritisi etnis sendiri? Semua ini berangkat dari keprihatinan atas peringatan dari pemuka masyarakat penyandang minoritas seperti Letjen Purn. Suryo Prabowo, Jaya Suprana, Yap Hong Gie, Inggard Joshua, Tjipta Lesmana, Lieus Sungkharisma dan lain lain yang akhirnya seperti menabrak tembok. Alih-alih didengarkan dan dihargai, malah dicap hater, dilecehkan, diserang.

Kabar baiknya, tidak 100% turunan Singkek memiliki Mentalitas Singkek akut. Banyak yang masih bisa memilih dan menimbang secara obyektif. Bisa melihat kelemahan Ahok dan absennya jiwa negarawan dalam diri Ahok yang tidak peduli etiket, tidak memahami tugas Negara melindungi yang lemah. Menjalankan kebijakan pemerintah hanya serupa transaksi dagang : cuan (untung) dan bocuan (buntung). Tidak ada sifat nurture dalam memimpin, hanya cara-cara primitif : memaki di depan umum; naikkan gaji, ngga puas ganti! Bayar mahal, ngga happy maka pecat! Memimpin dengan menebar permusuhan dan teror.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun