Mohon tunggu...
Go Teng Shin
Go Teng Shin Mohon Tunggu... -

Menulis dengan Data dan Logika.\r\nHobby tertawa, tinggal di Jakarta Barat

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ahok dan Euforia Turunan Singkek

30 Maret 2016   10:49 Diperbarui: 1 April 2016   00:59 15434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebelum ada yang buru-buru apriori, mungkin perlu dijelaskan dulu arti kata Singkek. Singkek sebenarnya berarti ‘tamu yang baru datang’, dari kata Sin (baru) dan Kek (tamu); biasanya disematkan kepada pendatang Cina yang baru turun dari kapal. Maaf, sebelum ada yang tersinggung lagi, diperbaiki: pendatang Tionghoa yang baru turun dari kapal. Meskipun kemudian kata Singkek terdengar seperti pelecehan, dan ditujukan kepada Tionghoa yang miskin, tapi sebenarnya tak ada yang negatif pada istilah Singkek.

Karena baru datang, tentu saja kondisi Singkek pada serba miskin dan merana; tapi membawa semangat pantang mundur bahwa setelah mereka menghabiskan hartanya untuk bayar ongkos kapal, meninggalkan keluarga tercinta di kampung dan sekian lama terombang-ambing di laut – maka mereka kudu sukses di tempat baru. Sukses adalah harga mati, harus dicapai bagaimana pun caranya.

Orang Tionghoa di Indonesia, dapat dikatakan seluruhnya adalah keturunan, generasi ke tiga, ke empat bahkan ke lima dari para Singkek. Meskipun generasi yang sekarang hidup di Indonesia ini sudah berpendidikan, sudah tidak miskin, mereka lahir dan besar dan tua di Indonesia bahkan tak bisa lagi bicara dialek moyangnya; ada sesuatu sifat (traits) yang dibawa terus, Mentalitas dan attitude yang dibentuk dari pengasuhan dan pengalaman leluhurnya. Untuk memudahkan, seterusnya saya sebut sebagai ‘Mentalitas Singkek’.

Banyak sekali aspek Mentalitas Singkek ini, tapi supaya tidak bertele-tele, mari fokus kepada tiga nilai yang paling menonjol :

SATU, Orang Sendiri, Setan Sendiri (Ziji Ren, Ziji Gui)

Dalam bahasa Mandarin disebut ‘Ziji Ren’, orang Teochew menyebut ‘Kati Nang’. Orang Hokkien bilang ‘Kati Lang’, orang Hakka bilang ‘Chika Ngin’. Datang dari jauh, berjuang di tempat asing, harus ingat orang sekampung mesti saling membantu, mesti saling mendahulukan. Antara sesama orang sendiri harus percaya, harus dibantu, harus didukung.

Cobalah sedang negosiasi bisnis, menawar barang dagangan, melamar cewek ke ortunya. Kepada yang masih ngerti dialek, coba bicara kata sakti ini; mau kepada orang Cina mau di Tiongkok, Singapura, Malaysia. Ziji Ren. Kati Nang. Chika Ngin. Minimal disikapi dengan ramah, senyum lebar dan tepukan bahu, andai pun permintaannya ditolak.

Kata Ziji Ren ini acapkali diikuti Ziji Gui. Orang sendiri, setan sendiri. Kati Nang, Kati Kui. Chika Ngin, Chika Kui. Artinya perbuatan salah orang sendiri, sebaiknya dimaklumi, ditolerir, dimaafkan; karena ini setan kita sendiri. Mendingan setan tapi orang kita sendiri daripada malaikat tapi orang lain; apalagi setan orang lain!

DUA, Dulu Miskin makanya Obsesi terhadap Kekayaan

Buat Singkek yang berawal dari kemiskinan, tidak heran apabila terobsesi untuk kaya dan sukses. Para totok menyembah Fu Lu Shou, yang  terdiri atas 3 dewa : Keberuntungan (Fu), Kekayaan (Lu), dan Umur Panjang (Shou). Dari ketiganya yang paling utama tentu saja Cai Sen (dewa harta). Cai Lu (jalan kekayaan) dipercaya yang akan membawa ke aspek lainnya : kebahagiaan, kesejahteraan, umur panjang, kekaguman orang, penghormatan dan seterusnya. Banyak sekali ritual yang dikonotasikan ke Cai Lu. Lagu-lagu banyak yang berisi Cai Sen Tau (dewa harta datang), hari rayanya bagi-bagi duit angpau, kuamia dan ngoheng pekji-nya dibaca bisa kaya atau tidak.

TIGA, Guanxi

Guanxi atau Network adalah sesuatu yang sudah populer sebagai Chinese Culture terutama di kalangan Chinese diaspora.

Guanxi berasal dari ajaran Confucius, yang mengajarkan penghormatan tinggi kepada keluarga dan  hierarki dalam masyarakat; sehingga guanxi dikembangkan mulai dari hubungan keluarga, hubungan darah, hubungan asal-usul, hubungan kelompok.  Bentuknya seperti cortex, dimana lingkaran guanxi bisa sangat luas tapi di intinya tetap adalah keluarga dan kesamaan asal-usul.

Guanxi juga acapkali dikaitkan dengan RenQing, GanQing; orang Hokkian bilang Kamcheng, orang Hakka menyebut Kamchin. Artinya rasa cinta, percaya; dengan love dan trust menjaga hubungan dan membina jaringan yang bisa dibawa jangka panjang dan seterusnya untuk saling menguntungkan.

Sejarah Euforia para Singkek

Singkek dan turunannya pada dasarnya bersikap merendah dan tidak menonjolkan diri; tapi ada saatnya apabila merasa sukses, sangat ingin pamer. Ada ungkapan yang terkenal dari Raja zaman dulu 'pakai baju bagus, apa gunanya kalau di tempat gelap'? Maka kalau ada yang dibanggakan, kudu dipamerkan, disiarkan, gendang ditabuh, petasan diledakkan. Sikap seperti itu cepat menular, apabila ramai-ramai

menjadi euforia. Euforia tanpa rasionalitas, mengasumsikan semua harus ikutan. Kalau tidak ikut, bukan ziji ren. Kalau tidak sepakat, bukan lagi orang sendiri. Yang mbalelo atau punya pikiran sendiri, divonis jadi orang luar.

Sejarah Indonesia mencatat, turunan Singkek di Indonesia beberapa kali mengalami euforia.

Ekses dari larangan perdagangan eceren bagi orang asing dipedesaan (PP10/1959), menimbulkan euforia ‘HuiGuo’ pulang ke kampung halaman nenek moyang yang belum pernah dilihatnya. Begitu gegap gempitanya euforia ‘HuiGuo’ itu, sampai ada yang tidak mau huiguo dicap tak patriot dan dianggap khianat terhadap tanah leluhur.

Pada saat pelaksanaan UU Dwikewarganegaraan 1961-1962, pemerintah memberikan kesempatan untuk memilih WNI secara gratis bahkan biaya materaipun dibebaskan, saat itu para Singkek euforia ramai-ramai menanggalkan kewarganegaraan Indonesia dan memilih menjadi kewarganegaraan RRC. Mereka yang menyatakan melepaskan kewarganegaraan RRC untuk tetap menjadi warga Negara Republik Indonesia ada yang dilecehkan, dianggap telah melakukan pilihan yang bodoh/salah.

Setelah itu pada tahun 1960an, dengan mesranya hubungan Pemerintahan Soekarno dengan Tiongkok Mao Zedong; sejumlah tokoh Tionghoa yang berkiblat kepada Komunis Mao mendapatkan tiket ekspres berpolitik. Begitu kuatnya Baperki saat itu menekan kelompok yang tidak sependapat. Sedemikian euforia sampai lebih suka para tokoh Baperki ini tanpa rem lagi memamerkan kedekatan dan mengidolakan Tiongkok dan Mao; dari tutur kata pro Tiongkok sampai meniru cara berpakaian Mao ketimbang budaya dari tanah air dimana mereka tinggal.

Tiga kali euforia itu menorehkan akibat yang sungguh pahit. Para turunan Singkek yang euforia 'Hui Guo' akhirnya hidup pahit di bawah rezim Komunis. Banyak dari mereka mati kelaparan atau hidup sangat miskin di Tiongkok, sebagian berhasil kabur ke Hongkong dan menjalani hidup yang lebih baik dari nol, dan sebagian lagi masuk kembali ke Indonesia sebagai imigran gelap.

Turunan Singkek yang memilih menjadi WNA dan tetap hidup di Indonesia akhirnya mengalami berbagai kesulitan dan dicurigai oleh aparat Orde Baru yang alergi terhadap cina komunis.

Turunan Singkek yang terlibat Baperki dan sejarah mesra dengan Tiongkok juga mengalami kepahitan di bawah rezim Orde Baru; dikejar, dipenjarakan dan banyak yang lenyap. Sementara mayoritas yang tidak terlibat Baperki, pun harus menanggung akibatnya selama 3 dekade dalam kecurigaan dan prasangka, persekusi identitas dan kebudayaan, meskipun secara ekonomi sangat maju pada rezim Orde Baru.

Euforia AHOK

Ada Kompasioner yang menulis mengenai Admin Kompasiana yang dinilai memihak 'kelompok tertentu' pro Ahok yang terus diberi panggung; sampai timbul pertanyaan, apakah Admin dari kelompok yang sama?

Ada pula artikel tanggapan terhadap satu Kompasioner top yang membully Adhyaksa Dault. Penulis tanggapan mengkomentari bahwa si Kompasioner top hanya melihat kepentingan kelompoknya sendiri saja.

Ada pula tulisan-tulisan yang membahas bagaimana CINTA BUTA sejumlah Kompasioner terhadap Ahok, sampai tidak pernah bisa menerima kritik terhadap Ahok, dan Ahok dianggap seperti dewa dan nabi yang tak bercela. Ditanyakan, bagaimana orang yang sama bisa cinta Jokowi yang santun dan merakyat tapi juga cinta Ahok yang bermulut kakus dan arogan?

Sebenarnya, bukan CINTA BUTA yang terjadi, karena cinta itu butuh personifikasi. Cinta buta adalah pandangan yang keliru kalau yang dimaksud adalah sikap dari turunan Singkek terhadap AHOK. Terhadap Jokowi kemungkinan besar memang cinta dan idolisasi, yang bisa pudar, bisa berubah menjadi kritik dan bahkan mulai antipati apabila performanya tak sesuai harapan. Terhadap Ahok, yang dikira cinta buta yang membuat ahem-ahem Ahok terasa coklat sebenarnya adalah, disadari maupun tidak,  manifestasi dari Mentalitas Singkek yang melekat berabad-abad.

Percuma bicara sama turunan Singkek soal mulut kasar Ahok. Percuma mengingatkan bagaimana Ahok membuat permusuhan dimana-mana dan menyakiti pihak lain. Percuma bicara soal penggusuran rakyat kecil. Percuma membahas bagaimana Ahok memiskinkan warga Betawi. Percuma membahas angka realisasi anggaran DKI atau prestasi Ahok yang serba tak jelas. Percuma membahas bahayanya  perbuatan Ahok yang kerap mengasong triple minoritasnya dan menimbulkan polarisasi SARA.

Ratna Sarumpaet karena anti Ahok maka dicerca. Tak ada yang mau ingat waktu Tragedi Mei 98, Ratna bersama relawan menolong Tionghoa. Sementara karena pasang badan buat Ahok, tiba-tiba Anton Medan yang menurut berita ditengarai terlibat kerusuhan Mei 98, jadi pahlawan. Ribuan likes, share dan retweet pujian buat Anton Medan. Anton Medan dipuji-puji sambil menyeruput bakmi di kopitiam, kumpul-kumpul sehabis sembahyang, ramai-ramai diacungin jempol.

Jaya Suprana yang banyak jasanya mengangkat image positif Tionghoa melalui kegiatan budaya, begitu memperingatkan Ahok; malah dijadikan sasaran penyerangan. Bukannya berterima kasih diingatkan orang tua, malah disebut provokator oleh Ahok. Anak-anak tanggung yang baru bisa mainin hape dan posting di sosmed, bisa seenak perutnya membully Jaya Suprana yang sudah sepuh.

Dalam Mentalitas Singkek itu, Ahok adalah Ziji Ren yang sedang melejit dan harus didukung habis-habisan. Segala kekurangan Ahok, sudahlah tak perlu dibahas! Ziji Ren, Ziji Gui; setan kita sendiri kok, lebih baik daripada malaikat, tapi orang lain.

Percuma bicara rasional pada mereka. Mau itu turunan Singkek yang bermukim di Papua, Solo, Jakarta atau Australia. Mau itu pensiunan yang biasanya bijak, notaris, pendekar atau penulis bertampang ABG piyik. Mau itu pemuka masyarakat, pemimpin organisasi, atau penjaga kios dan penjual martabak. Mau yang berpendidikan tinggi, bergelar Doktor atau lulusan SD. Dari gaek sampai yang baru tanggal gigi susu. Sikapnya sama saja, rasionalitasnya tiba-tiba hilang, tiba-tiba jadi chauvinist akut. Mereka akan mencarikan seribu dalil untuk membela kelakuan Ahok, ziji ren; sementara membalikkan dalil serupa kepada lawan Ahok, wai ren (orang luar). Kalau ada yang protes, langsung dituduh diskriminatif, rasis, melakukan provokasi SARA.

Di belakang Ahok ada sembilan naga? So what gitu lho, 9 naga ziji ren, orang sendiri. Ahok menelikung Prabowo yang mengangkatnya, lha itu bodohnya Prabowo sendiri. Ahok gusur Kalijodo dalam seminggu dengan bekingan polisi terus kepolisian dapat hibah fasilitas parkir Rp 70 miliar? Duh, pinter ya Ahok. Ahok pakai APBD? Lantas kenapa, kan wewenang Ahok untuk neken. Yang membangun tempat parkir dan kemungkinan dapat konsesi di bekas Kalijodo adalah APL? APL yang sama yang dikasih izin reklamasi cacat hukum oleh Ahok, yang ngasih tanah taman BMW bodong sebagai fasum fasos? APL ziji ren-lah, dimana salah Ahok? Ahok mesra dengan Podomoro dan para konglomerat? Hebat ya Ahok dalam mengelola guanxi, siapa yang tidak ingin!

Mentalitas Singkek melihat melejitnya Ahok adalah Cai Lu, jalan kekayaan, sesuatu yang harus dibanggakan dan didukung habis-habisan. Ahok adalah akhir dari impotensi politik sejak musnahnya Baperki. Bukannya mereka tak sadar Ahok banyak ngga beresnya, tapi itu tidak penting, lebih baik EGP, ngapain dipikirin, ngapain dipersoalkan,ngapain dibahas, yang lebih jelek kan banyak?

Begitulah para turunan yang memiliki Mentalitas Singkek kental itu. Berbondong-bondong mereka mengerubuti booth Teman Ahok, mengisi formulir, menyerahkan KTP. Generasi bapak ibu bawa formulir Ahok ke pasar,  gereja,  kopitiam, perkumpulan sosial. Anak-anaknya main sosmed, menjadi cyber bully, menyerang membabi buta para lawan Ahok di dunia maya. Relawan mengantar formulir ke kantor, rumah, pabrik. Formulir disodorkan ke karyawan tanpa memandang opini mereka, dari halus sampai memaksa, menyuruh setor KTP. Sedemikian euforia, bermimpi Ahok bisa menjadi  juru selamat. Jangankan jadi Gubernur, jadi Presiden pun bisa. Berkampanye di kelenteng, bikin kesaksian di gereja, bahwa Ahok diberkati Tuhan jadi pemimpin, bahwa Ahok adalah hal terbaik yang terjadi pada Indonesia.

Tidak perlulah kita berpura-pura tak tahu apa basis dukungan Ahok. Mengapa Teman Ahok buka booth di mall-mall? Dimana mayoritas lokasi posko pengumpulan KTP untuk Ahok? Bukannya tidak menghargai 5 orang yang digadang media sebagai pencetus Teman Ahok, toh semakin terungkap mereka ini tampaknya karyawan atau perpanjangan dari konsultan politik Cyrus Network.

Salahkah itu? Ya tidak salah. Mentalitas eksklusif bukan hanya milik Singkek. Wajar apabila kita mendukung sesama etnis, sesama agama, sesama kampung halaman. Masalahnya mengapa Ahok dan timsesnya mesti menggunakan isu ini buat pihak lain; sementara buat Mentalitas Singkek sudah jelas-jelas dukung Ahok adalah harga mati? Kok pihak lain yang minta agar memilih yang seetnis dan seagama sendiri mesti diserang? Jika buat Singkek, Ahok adalah pilihan absolut; kenapa pihak muslim tidak boleh meminta pilih yang seiman? Kenapa menuduh pihak lain diskriminatif sementara Ahok sebagai pilihan satu-satunya toh sama diskriminatifnya, karena tak mungkin lagi mereka bisa menimbang secara obyektif atas Ridwan Kamil, Riesma, Adhyaksa Dault, Idrus?

Jualan SARA memang kelewat melekat pada bahasa kampanye Ahok. Istilah ‘kafir’ dipanteng terus menerus. Website timsesnya saja tidak bisa tidak membawa nama Islam, dari yang toleran kemudian diganti NKRI. Pikiran sendiri sedemikian picik, mengapa menghakimi pihak lain?

Letjen Suryo Prabowo berkali-kali mengingatkan ‘apabila yang kecil tahu diri, maka yang besar akan mengerti’. Sadarkah para Tionghoa yang mewarisi Mentalitas Singkek akut, sikap Ahok yang menyakiti mayoritas? Butakah mata mereka melihat Ahok menggusur orang miskin secara tidak semena-mena? Wilayah Kalijodo baru ditetapkan sebagai RTH pada akhir 2014 sehingga banyak yang tidak mengerti. Lalu setelah terjadi kasus tabrakan Fortuner, tiba-tiba saja Kalijodo mau digusur dan warga diberi waktu satu minggu untuk pindah. Manusiawikah?

Polisi, tentara dengan tank dan excavator dihadapkan pada rakyat di Kampung Pulo dan Kalijodo. Orang dibiarkan kehilangan tempat berteduh seketika tanpa persiapan. Penggusuran dijadikan panggung politik dan pameran arogansi penguasa. Kalijodo dianggap hanya pusat bisnis lendir kaum marjinal yang tak punya sertifikat. Kalau mau ganggu gugat Malioboro atau Alexis, GILA, bisnis sah ziji ren kok mau diganggu?! Penggusuran Kampung Pulo wajar dong, hanya penghuni liar di bantaran sungai. Sementara penghuni Pluit dan Kelapa Gading yang berdiri di atas tanah resapan adalah pemilik sah tanah bersertifikat, tidak boleh diganggu karena RUTR sudah dibeli pakai duit. Pahamkah para pengidap mental Singkek akut ini, bahwa sikap bermuka dua, double standard, munafik dan bullying itu menyakiti orang lain? Arogan karena punya duit, dan bangga bahwa kuasa duitnya bisa mendikte pejabat di negeri ini?

Tulisan ini tidaklah bertujuan untuk menyerang secara SARA, melainkan introspeksi dari seorang turunan Singkek terhadap perilaku sesamanya. Bagaimana saya bisa disebut rasis dalam mengkritisi etnis sendiri? Semua ini berangkat dari keprihatinan atas peringatan dari pemuka masyarakat penyandang minoritas seperti Letjen Purn. Suryo Prabowo, Jaya Suprana, Yap Hong Gie, Inggard Joshua, Tjipta Lesmana, Lieus Sungkharisma dan lain lain yang akhirnya seperti menabrak tembok. Alih-alih didengarkan dan dihargai, malah dicap hater, dilecehkan, diserang.

Kabar baiknya, tidak 100% turunan Singkek memiliki Mentalitas Singkek akut. Banyak yang masih bisa memilih dan menimbang secara obyektif. Bisa melihat kelemahan Ahok dan absennya jiwa negarawan dalam diri Ahok yang tidak peduli etiket, tidak memahami tugas Negara melindungi yang lemah. Menjalankan kebijakan pemerintah hanya serupa transaksi dagang : cuan (untung) dan bocuan (buntung). Tidak ada sifat nurture dalam memimpin, hanya cara-cara primitif : memaki di depan umum; naikkan gaji, ngga puas ganti! Bayar mahal, ngga happy maka pecat! Memimpin dengan menebar permusuhan dan teror.

Ahok tidak ada kejujuran jadi pejabat, maunya menyalahkan orang lain, sudah salah tak mau bersikap ksatria. Gratifikasi dilaporkan ke KPK dengan memanggil ramai wartawan. Sementara di belakang menggunakan asset Pemprov untuk markas timsesnya, rapat di Balai Kota dengan timsesnya.  Ini yang kelihatan, bagaimana dengan biaya operasional ratusan juta sampai miliaran setiap bulan di bawah kendalinya, apakah bisa dipertanggung-jawabkan tak ada yang melenceng untuk keperluan kampanye dan pencitraan Ahok? Bukankah Ahok sendiri menuduh Jokowi pesta pora dengan APBD sampai Rp 1,2 triliun?

Karena itu jangan hitung seluruh suara pemilih Tionghoa di DKI sebagai 100% buat Ahok. Memang ada mental Singkek akut yang sampai mati akan pilih Ahok. Mereka ini mayoritas, yang sedang dalam euforia menemukan dewa. Tidak perlu mengharapkan rasionalitas, mengajak berdebat hanya akan sia-sia. Kalau bukan Ahok; Acong, Ahin, Afat juga sama saja, asalkan yang bisa memuas dahaga politik sehabis kemarau panjang.

Bukannya tidak bangga terhadap tokoh seperti Kwik Kian Gie (KKG), tapi ini berbeda. KKG berpijak pada pilar kebangsaan, tak pernah sedetikpun menjual keminoritasannya sehingga Singkek tidak merasa diwakili KKG. Parahnya KKG bahkan cenderung melawan hegemoni guanxi konglomerat yang menjadi ciri Singkek.  

Tapi di luar itu akan tetap ada minoritas yang bisa menilai obyektif. Mereka ini yang sedang berusaha mati-matian, untuk melawan anggapan bahwa Tionghoa satu suara untuk Ahok. Berjuang supaya euforia dukung-mendukung Ahok ini jangan seperti sejarah euforia kebablasan yang menuai akibat pahit bagi Tionghoa.

Jaya Suprana pergi ke Kampung Pulo, hendak memanjat ke atas tank apabila tidak dicegah Romo Sandy; tanpa memikirkan kelemahan fisik dan umurnya. Akwet memasang spanduk gede di atas restorannya di Glodok, menasehati Ahok supaya menjaga mulutnya; sampai spanduk itu diminta turunkan paksa oleh Satpol PP. Perhimpunan Sosial Candra Naya yang dirampas tanahnya oleh konglomerat yang bertransaksi dengan Ahok di Sumber Waras, I Wayan Suparmin, ketuanya sampai dipenjarakan karena berani bersikap melawan kekuasaan guanxi penguasa-pengusaha.

Perlawanan ini merupakan jalan sunyi bagi yang bersuara di luar rel dan opini mayoritas Tionghoa; acapkali menyakitkan dan dialienasi, dikucilkan, dianggap musuh, dicap orang aneh. Tapi semua ini akan bernilai, jika saat mata pihak lain melihat Ahok dalam statusnya sebagai triple minoritas bersikap arogan dan menyakiti berbagai pihak; mayoritas tahu bahwa masih ada suara rasional di luar sana. Masih ada semangat kebangsaan dan mengutamakan damai daripada umbar hawa perang dan tarik urat leher. Bahwa tidak semua minoritas gagal bersikap obyektif dan membabi-buta berada di belakang Ahok.

Jakarta, 30 Maret 2016

GTS69

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun