Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Papa Sudah Pergi, Mari Lanjutkan Hidup dengan Sadar

3 Maret 2023   05:55 Diperbarui: 3 Maret 2023   05:51 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Papa Sudah Pergi, Mari Lanjutkan Hidup Dengan Sadar (gambar: andrewholecek.com, diolah pribadi)

Rasanya langit seperti sedang runtuh...

Saat itu langit berwarna abu-abu. Kaca mobil dititiki oleh rintik-rintik hujan, sambil sesekali wiper bergerak membersihkan bintik-bintik air itu... tetapi tidak lama mereka muncul lagi.

Saya berada di dalam mobil itu, duduk dengan tidak manis di samping pengemudi. Saat itu pikiran saya sedang kacau sekali, sebab 10 menit sebelumnya saya mendapatkan pesan singkat dari adik saya:

"Ko, pulang. Papa sudah tidak ada."

Saya tidak duduk diam di dalam mobil itu. Napas berat terus saya tarik dan embuskan, sambil sesekali memejamkan mata untuk membiarkan air mata berlinang. Agar suasana tidak menjadi canggung, saya menyampaikan kepada pengemudi bahwa saya baru saja mendapatkan kabar bahwa ayah saya telah meninggalkan saya untuk selama-lamanya.


* * 

Sebagai anak pertama dan putra satu-satunya dari seorang ayah yang berasal dari generasi baby boomers, saya merasa hubungan saya dengan ayah tidak terlalu dekat. Kami bisa berbicara dan minum kopi bersama, tetapi sulit untuk saling berbagi cerita atau perasaan secara personal. 

Ayah saya - sesuai dengan stereotip orang tua dari generasi boomers Asia - jarang sekali menanyakan perasaan kami. Sejak kecil papa mendidik saya dengan sangat keras, sesuatu yang mungkin akan disebut sebagai "abusive" oleh anak-anak generasi Z. Tapi saya tidak menganggap itu sebagai sebuah abuse, sebab berkat cara didik itulah saya menjadi disiplin dan bertekad tinggi dalam mengerjakan sesuatu.

Papa jarang sekali menunjukkan rasa sayang melalui kata-kata; beliau lebih sering menunjukkannya melalui tindakan. Misalnya, tiba-tiba beliau membawa sepeda motor saya ke bengkel saat saya sedang tidur siang; atau beliau membelikan saya makanan kesukaan saya sebagai bekal makan siang di hari pertama saya bekerja. 

Gaya papa menyikapi anaknya benar-benar sesuai dengan stereotip baby boomers Asia. Papa hampir tidak pernah memuji saya, sekalipun dulu saat sekolah saya sering mendapat ranking atau saya lulus dengan magna cum laude sebanyak dua kali dari kampus, atau saat saya mendapatkan promosi jabatan di tempat kerja. Tetapi papa saya pernah sekali memuji saya, dengan mengatakan bahwa ia bangga melihat apa yang saya capai, dan itu merupakan pujian pertama dan terakhir beliau secara langsung kepada saya.

Saat papa meninggal, pikiran saya dipenuhi dengan berbagai penyesalan. Mengapa saya tidak lebih banyak meluangkan waktu untuk papa? Mengapa saya tidak berbuat lebih banyak bakti kepada papa? Mengapa saya tidak memberikan lebih banyak upaya untuk menyenangkan papa? Tetapi selayaknya manusia biasa, penyesalan selalu muncul ketika semuanya sudah terlambat. Saat papa masih hidup dan ada di depan mata saya, saya selalu berpikir bahwa masih banyak waktu untuk bisa bertemu dengan papa; tetapi saat papa sudah meninggalkan dunia ini, baru saya menyadari bahwa batas waktu kita di kehidupan ini benar-benar tidak dapat ditebak.

Adapun penghiburan terbaik bagi saya dalam menghadapi masa-masa duka ini ada dua: (1) dukungan sosial dari keluarga dan sahabat, dan (2) perenungan saya terhadap ajaran Buddha.

Khotbah pertama Buddha mengajarkan tentang "Duhkha Arya Satya / Dukkha Ariya Sacca". Jika diterjemahkan secara letterlijk, kita mungkin mendapatkan arti "Kebenaran Mulia tentang Ketidakpuasan / Penderitaan", tetapi saya sering menerjemahkannya secara bebas menjadi:

"Kenyataan tentang adanya ketidakpuasan dalam hidup".

Hidup memang tidak bisa berjalan 100% sesuai keinginan kita. Selama kita masih tenggelam dalam keserakahan, kebencian (termasuk tidak mampu menerima realitas), dan ketidakbijaksanaan; kita akan sulit untuk berdamai dengan kenyataan ini. Inilah yang sebenarnya membuat kita menderita, karena kita berharap agar kehidupan selalu bisa sesuai dengan mau kita; dan kita memaksakannya - makanya kita menghalalkan berbagai cara untuk mewujudkan keinginan dengan cara-cara yang serakah, kita menyakiti orang lain yang kita anggap tidak mengerti kita, dan terus berpikir keliru bahwa cara-cara tadi akan memberikan kita kebahagiaan.

Maka, agar kita mampu mengatasi ketidakpuasan hidup ini (dukkha / duhkha), Buddha mengajarkan Jalan Mulia Berunsur 8, yang jika dipadatkan lagi menjadi 3 faktor besar, yakni:

1. Menjaga moralitas,

2. Melatih kesadaran penuh & berkontemplasi,

3. Mengembangkan kebijaksanaan.

Ketika 3 faktor sudah dikembangkan dengan sempurna, maka perubahan dan ketidakpuasan dalam hidup tidak akan lagi mampu membuat kita menderita.

(Tentu saja saya belum mencapai tahap spiritual yang sedalam ini, tetapi sebisa mungkin saya akan melatih diri untuk menuju ke sana)

Kesedihan saya atas meninggalnya papa mengingatkan saya bahwa semuanya benar-benar hanya sementara, bisa datang dan pergi begitu saja. Pagi hari papa masih membelikan saya sarapan (beliau tahu saya sering melewatkan sarapan) dan mengantarkan adik saya pergi bekerja, tapi masih pada pagi hari yang sama juga, papa meninggalkan kehidupan ini untuk selamanya.

Adapun pesan terakhir Buddha sebelum wafat menjadi pegangan saya:

"Semua yang berkondisi bersifat tidak kekal, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan!"

Meski kesedihan itu masih ada, tetapi saya berusaha untuk merangkul diri sendiri dengan lembut. Masih ada kehidupan yang masih harus saya jalani; masih ada mama yang harus saya temani. Mari lanjutkan hidup ini dengan kesadaran bahwa semua hanya sementara dan hidup dengan penerimaan bahwa semua tidak akan berjalan sesuai dengan ekspektasi kita.

[Tulisan ini untuk mengenang papa yang bernama Gui Ting Bian / Jasmin Susanto yang wafat pada tanggal 9 Februari 2023. Semoga jasa kebajikan yang pernah beliau lakukan semasa hidup menuntun beliau kepada kehidupan baru yang lebih dekat dengan Dharma]

**

Jakarta, 03 Maret 2023
Penulis: Gavin Goei, Kompasianer Mettasik

Psikolog | Akademisi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun