Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ananda Menimbun Parami, Berjumpa Dalam Cahaya

6 Agustus 2022   06:27 Diperbarui: 6 Agustus 2022   06:30 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ananda Menimbun Parami, Berjumpa Dalam Cahaya (gambar: istockphoto.com, diolah pribadi)

Siapkah kita menghadapi kematian? Umumnya orang tidak suka membicarakan kematian. Kapan pun topik ini diangkat, mereka akan merasa tidak nyaman.

Kita tidak akan pernah mau kehilangan atau berpisah dengan keluarga yang kita cintai. Tapi selama kita hidup, kita tidak dapat menghindari hal ini. Pepatah mengatakan: Dari kelahiran menuju ke kuburan. Dari kuburan menuju ke kelahiran. Selama roda kehidupan masih berputar, hal ini akan terus berlanjut.

Haruskah kita terus meratap atas kepergian keluarga dan kerabat kita? Sedih tentu, kita bukan arahat, kita masih manusia yang belum terbebaskan. Tapi sebaiknya kita dapat segera sadari, kalau perpisahan ini adalah sesuatu yang pasti akan kita alami.

"Berpisah dengan orang yang kita cintai adalah dukkha (penderitaan)"

Mengenali dan menerima kenyataan apa adanya akan menciptakan perasaan netral. Hal ini akan membawa kebaikan bagi kita dan juga bagi kerabat yang berpulang. Kita coba untuk menyingkirkan keterikatan kita, atau setidaknya melemahkannya.

Sadari pula, kelak suatu saat nanti, giliran kita yang akan meninggalkan dunia yang fana ini. Kita pun ada dalam antrean ini dan tidak dapat keluar dari antrean tersebut.

Bicara mudah, teori juga mudah. Apakah akan semudah itu kenyataannya?  Bagaimana cara agar kita siap untuk menerimanya?

Berusaha untuk sadar setiap saat (mindfulness), sadari kalau semua "anicca", tidak kekal adanya. Mereka yang rutin bermeditasi pasti akan merasakan perbedaannya.

Saat kehilangan atau berpisah dengan keluarga yang kita cintai. Perasaan sedih tidak akan berlama-lama dan tidak sedalam jika dibandingkan sebelum berlatih meditasi. Bermeditasilah dengan rajin sebelum badai yang lebih besar datang melanda.

Hendaknya kita sadari, kepergian kerabat kita, memang karena karmanya sudah selesai untuk kehidupan saat ini. Lepaslah beliau dengan hati ikhlas, untuk melangkah menuju ke kehidupan selanjutnya.

Jangan lagi kita hambat dengan kesedihan kita yang berlarut-larut. Bantulah beliau dengan pelimpahan jasa. Semoga almarhum terlahir di alam bahagia dan tetap mengenal Dhamma. Agar kelak segera terbebaskan.

Seperti yang Buddha ajarkan "hidup ini tidak pasti, namun kematian itu pasti." Kita perlu memahami tentang kesadaran akan kematian. Sehingga saat kematian tiba-tiba merenggut, kita telah siap menghadapinya.

Mari kita simak satu tragedi yang sangat mengharukan ini.

Seorang anak muda belia, cerdas, cantik dan baik hati. Anak kesayangan orang tua, saudara dan teman sekolahnya.  Ia berasal dari India. Datang ke Jakarta untuk berlibur ke rumah tantenya yang juga ibu angkatnya.

Niat berlibur, bersenang-senang melepas rindu. Malah tragedi yang terjadi.  Ia ditemukan tidak sadarkan diri di kamar mandi, suddent death.

Sang tante masih belum dapat menerima keadaan keponakannya. Yang sudah dinyatakan mati batang otak, Brain death. Untung kedua orang tua kandung si anak segera tiba dari negaranya.

Setelah mendengar penjelasan mengenai kondisi putrinya yang sudah dinyatakan brain death. Sang ayah berkata : "Putri saya anak yang ceria, ia juga baik hatinya". "Ia pasti bahagia, ia juga tidak mau kami menangis".  Kami tidak akan menangis. Ia bahagia, kami pun akan bahagia.

"Sekarang silakan dokter ambil organ-organ putri saya yang bisa didonorkan". Sekejap para medis terhenyak mendengar pernyataan si ayah. Antara percaya dan tidak percaya. Betapa beliau dapat setegar itu, ikhlas melepas putri tercintanya. Betapa mulia bisa rela mendonorkan organ putrinya.

Malahan kami, para medis yang terharu biru mendengar pernyataan sang ayah. Tapi waktu mengejar kami untuk bertindak cepat. Pada saat itu, karena usia anak yang relatif masih sangat muda,13 tahun. Hanya kedua kornea mata yang dapat disumbangkan.

Betapa organ kornea matamu amat berguna. Bagi orang yang sudah lama menanti untuk dapat melihat indahnya dunia.

Terima kasih, atas kebaikan hatimu dan juga orang tuamu. Surga bukanlah tempat, melainkan hasil dari serangkaian sikap. Di sini dan saat ini kalian sudah menemukan surga.

Selamat jalan ananda, semoga terlahir di alam bahagia.

Dikatakan bahwa, sangat sulit terlahir sebagai manusia. Apalagi dapat mengenal Dhamma (ajaran). Jika dalam hidup ini, kita tidak melaksanakan Dhamma, ibarat kita hidup di alam yang penuh permata, tapi pada saat meninggalkannya, tidak satu pun permata yang dapat kita bawa.

Gerbang pintu kematian sangatlah dekat dengan kita. Masing-masing menuju ke pintu gerbang kematiannya. Kita semua tidak tahu, kapan giliran kita akan tiba. Sejak saat ini marilah kita semua bertekad kuat (adithana). Memanfaatkan waktu yang tersisa untuk berbuat kebajikan, menimbun "parami" agar kelak kita siap menerima apa adanya.

Sabbe Satta bhavantu Sukhitatta.
Semoga Semua Mahluk Hidup Bahagia.

**

Referensi;

Visuddhacara. Berjumpa dalam cahaya, kehidupan dan kematian. Jakarta, Dian Dharma

Goldstein Joseph. Meditasi untuk mengenal diri. Jakarta, Dian Dharma.

Vajiramedhi,W. Memandang kematian di mata. Jakarta, Karaniya.2008

**

Jakarta, 6 Agustus 2022
Penulis: Metta Yani, Kompasianer Mettasik

"Meditation is actually Medication Without any Side Effect"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun