Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Beda-beda Tipis dan Karma Tipis-tipis

25 Januari 2022   01:01 Diperbarui: 25 Januari 2022   01:12 912
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beda-beda Tipis, dan Karma Tipis-tipis (unsplash.com)

Semua hal dalam kehidupan itu beda beda tipis...

Hal hal sederhana saja, seperti ada duit sama tidak punya duit. Kalau tidak punya duit, gak bisa traktir teman, kalau duitnya sudah ada, hilang dipakai traktir teman.

Makanya ada nasehat yang sering kita dengarkan, "Hidup sudah susah, ngapain dibuat susah lagi."

Mau tau contoh lain lagi?

Pernah melihat seseorang yang ketawa terbahak bahak sampai mengeluarkan air mata? Atau seseorang yang menangis tersedu sedu, mirip tertawa?

Jelas sulit dibedakan.

Dasarnya, kehidupan adalah pilihan dan setiap saat kita memilih. Memilih untuk menggunakan baju warna hijau atau putih. Memilih untuk sarapan pagi atau tidak.

Mengapa kita harus memilih?

Meskipun pada dasarnya kita sudah tahu pilihan kita, namun hidup tanpa pilihan adalah hal yang membosankan. Apapun yang terjadi, harus ada pilihan yang tersedia bagi diri kita. Titik.

Ada sebuah analogi menarik mengenai 12 kebiasaan yang menentukan karakter kita. Salah satunya adalah pemilihan sepatu.

Mereka yang lebih memilih sepatu yang nyaman, biasanya menunjukkan karakter yang mudah bergaul dan easy going. Sebaliknya mereka yang suka dengan sepatu formal, biasanya memiliki karakter yang cenderung lebih kalem dan mawas diri.

Namun setiap orang pasti memiliki beberapa pasang sepatu yang berbeda di dalam raknya. Sepatu formal maupun sepatu nyaman akan digunakan secara bergiliran. Hal ini dapat berarti bahwa sebenarnya sifat manusia tidak permanen adanya.

Dengan demikian, maka pilihan semakin jelas penting adanya. Pilihan terjadi karena pada dasarnya segala sesuatu beda-beda tipis adanya.

Jika memang demikian adanya, tentu saja di antara pilihan-pilihan tersebut, manusia ingin yang terbaik. Bukankah begitu.

Bagaimana Menentukan Pilihan Terbaik?

Banyak kisah yang kita dengarkan tentang bagaimana "salah pilih" menimbulkan penyesalan. Apakah ada cara untuk menghindarinya? Adakah cara agar pilihan dalam kehidupan selalu tepat?

Kembali kepada hakekat, apa dasar terbentuknya sebuah pilihan? Jawabannya adalah motif.

Oleh sebab itu, cara terbaik untuk melihat apakah pilihan kita sudah tepat atau tidak, adalah melihat motivasi kita dalam bertindak.

Terkadang memang susah, karena kita sering tidak menyadari apa sih yang membuat diri kita mengambil sebuah keputusan? Kadang ia terjadi begitu saja, seperti memilih menu pada restauran.

Kendati demikian, ada tips singkatnya. Tidak 100% manjur, tapi bisa dicoba;

Adosa - Tidak Berdasarkan Emosi Negatif

Emosi negatif yang paling kelihatan adalah amarah. Namun, ada juga yang bentuknya lebih halus, seperti kebencian, dendam, hingga ketidaksukaan.

Sebuah keputusan yang diambil berdasarkan sifat-sifat seperti ini, biasanya berpotensi menimbulkan keputusan yang kurang rasional. Terkandung dalam istilah "like-dislike."

Sebisa mungkin sebuah motif yang diambil tidak berdasarkan rasa suka atau rasa benci terhadap seseorang, sebuah situasi, atau sebuah kondisi.

Percayalah, hidup tanpa tendensi, dengan sebuah keseimbangan batin (upekkha) adalah kebahagiaan yang hakiki.

Alobha -- Tidak Berdasarkan Nafsu

Setiap orang pasti memiliki nafsu. Baik yang kelihatan, seperti merindukan sang kekasih, atau yang lebih halus seperti keinginan untuk merasa nyaman.

Tidak salah, setiap orang pasti ingin merasa nyaman. Namun, ingatlah bahwa kenyamanan adalah sebuah proses, bukanlah tujuan akhir.

Karena pada dasarnya, segala sesuatu tidak penah kekal adanya (anicca). Jika kita hanya mengejar kenyamanan, maka niscaya diri akan kecewa. Karena perasaan suka dan duka akan selalu datang silih berganti dalam diri kita.

Mengutamakan rasa nyaman tanpa mengorbankan kenyamanan orang lain adalah yang terbaik. Nikmati prosesnya tanpa bermaksud untuk memaksakannya terjadi.

Peraasaan nyaman sesungguhnya berasal dari diri sendiri. Semuanya adalah paradoks pikiran tentang seberapa jauh Anda bisa berbagi.

Amoha -- Tidak Masa Bodoh

Seringkali pengalaman batin kita telah mengarahkan diri terhadap apa yang benar dan apa yang tidak. Padahal apa yang benar itu belum tentu demikian.

Pada kasus-kasus tertentu, seseorang sering melihat keadaan dari satu sisi saja, atau dari perspektif mayoritas, sehingga sesuatu yang telah disetujui bersama menjadi yang terbaik. Atau dengan kata lain, ikut-ikutan.

Jelas ini berbahaya, apalagi jika diri kita sudah terbiasa dalam lingkungan yang tidak kondusif. Bergaul dengan para pemabuk misalnya, membuat kita cenderung membenarkan pesta mabuk-mabukan.

Namun, tidak perlulah menjadi pemabuk untuk terjebak dalam situasI ini. Dalam kehidupan, kita juga sering malas melakukan hal-hal yang baik, egois, gengsi, sombong, angkuh, dan munafik.

Atas nama moha, kita lantas mengambil pilihan yang berat sebelah. Menyebabkan penderitaan bagi banyak mahluk.

**

Aku berada disini sekarang, karena pilihan. Aku akan menjadi apa juga karena pilihan. Kehidupan selalu menyediakan opsi opsi bagi manusia yang akan mengarahkannya kepada suatu keadaan, dimana pilihan sudah tidak ada lagi.

Itulah yang disebut karma. Baik atau buruknya, semuanya terbentuk dari perbuatan masa lalu. Seperti apakah kita akan menjadi di masa depan? Sangat bergantung kepada pilihan yang kita ambil saat sekarang. Kita pun berkesempatan untuk membentuk karma-karma baru. 

Lantas jika pilihan sudah tidak ada lagi, apa yang akan terjadi? Pilihan itu akan selalu ada, selama kehidupan masih ada. Karma akan terus ada seiring dengan pilihan-pilihan yang akan kita ambil. Pilihan dan karma, beda-beda tipis. 

**

Makassar, 25 Januari 2022

Penulis: Rudy Gunawan untuk Grup Penulis Mettasik

dokumen pribadi
dokumen pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun