Ia adalah manifestasi dari kegagalan sistem pendukung keluarga dan masyarakat. Ia mengajarkan kita bahwa masalah mental seringkali bukan kelemahan individu, melainkan cedera yang diakibatkan oleh benturan keras dengan realitas.
"Kamu Tidak Sendiri"
Pesan penting yang ingin diberikan Tim Mielants dan Max Porter di film ini, adalah satu frasa yang sangat mendasar namun kuat: Kamu Tidak Sendiri.
Berbicaralah dan berceritalah. Ini adalah hal paling mendasar yang harus dilakukan setiap orang yang merasa sedang dalam tekanan mental---sebuah tindakan yang sepele namun seringkali menjadi service termudah yang paling sulit diakses. Ceritakanlah. Ada orang lain yang siap mendengar, meski mereka mungkin tidak punya solusi instan. Kehadiran pendengar yang tulus adalah terapi itu sendiri.
Dalam film Steve, ada karakter Amanda yang merupakan wakil kepala sekolah. Amanda sangat paham bagaimana beban yang ada pada Steve dalam mempertahankan Stanton Wood dan juga beban pribadinya. Ia memang tidak punya kelebihan "detoksifikasi masalah" layaknya seorang konselor ulung, tetapi ia dengan telaten dan konsisten mengingatkan Steve untuk melakukan terapi fisik dan juga menjauhi obat penenang.
Amanda tidak menawarkan solusi untuk masalah penutupan sekolah, tetapi ia menawarkan solusi untuk masalah Steve yang sesungguhnya: hilangnya self-care. Ia menunjukkan bahwa dengan cerita yang sudah kita utarakan, akan ada seseorang di samping kita untuk ikut merasakan dan menjadi aware dengan tingkat keparahan masalah mental kita. Keberadaan Amanda adalah potret dari akses layanan yang termudah: kehadiran yang peduli.
Kesadaran Tentang Kesehatan Mental di Tahun 2025
Secara keseluruhan, film Steve ini sangat relevan dengan zaman ini. Latar filmnya mungkin berkisar tahun 1990-an, namun ternyata hingga tahun 2025---sebagaimana tema Hari Kesehatan Mental Sedunia---masih banyak orang yang belum membahas isu mental dengan serius.Â
Masih banyak masyarakat yang menganggap orang dengan masalah kesehatan mental, sama seperti kru film yang mendokumentasikan Stanton Wood dalam film. Mereka menganggap siswa-siswa yang sedang berjuang itu hanyalah obyek tontonan untuk dikasihani, atau bahkan ditertawakan.Â
Layaknya penderita kusta, ada jarak, ada stigma, dan ada penolakan untuk mengakui bahwa masalah itu bisa menyerang siapa saja, termasuk kita sendiri.
Pertanyaan reflektif untuk Hari Kesehatan Mental Sedunia tahun 2025 ini adalah: apakah kita sudah lebih sadar tentang realita ini? Apakah kita sudah menyediakan akses layanan yang layak, baik secara profesional maupun personal, bagi mereka yang "sangat, sangat lelah?"
Atau, jangan-jangan, kita hanya akan duduk tertawa sambil menonton, lalu kita akan menjadi seperti Shy---sebuah mahakarya yang meledak karena diukir oleh penolakan dan lingkungan yang buruk?Â
Jawabannya ada pada seberapa besar kebaikan hati yang kita miliki untuk melihat "Steve" dan "Shy" yang ada di sekeliling kita, bahkan yang ada di dalam diri kita sendiri.