Namun, di tengah gempuran informasi dan kebutuhan akan koneksi yang otentik, narasi "bersembunyi" ini mulai kehilangan relevansinya. Dunia kini haus akan transparansi, kejujuran, dan relatability.Â
Sebuah pertanyaan krusial pun muncul: apakah rasa aman yang semu itu sepadan dengan potensi kerugian jangka panjang dalam membangun personal brand yang kuat dan berkelanjutan? Bagaimana kita bisa memulai petualangan dalam dunia perkonten-an, jika stakeholder tidak menemukan satupun jejak orisinil di media sosial?
Branding diri jelas merupakan investasi paling berharga bagi content creator yang ingin berbicara kepada dunia, dibandingkan dengan tetap terperangkap dalam selubung anonimitas.
Di jantung setiap branding yang sukses, terletaklah sebuah konsep universal: autentisitas. Dalam konteks content creation, autentisitas berarti kejujuran terhadap diri sendiri dan konsistensi antara apa yang ditunjukkan dan siapa diri sebenarnya.Â
Ketika seorang content creator menggunakan nama asli dan menampilkan wajahnya, ia secara implisit menyatakan: "Inilah saya. Apa yang Anda lihat dan dengar adalah cerminan dari diri saya yang sebenarnya."
Indera pendengaran dan pengelihatan kita, mungkin bisa langsung ngeh saat melalui tulisan saja kita membaca "Halo guys, David di sini." Ya, inilah hasil sebuah branding diri seorang David GadgetIn yang jadi buah manis pohon autentisitas.
Deklarasi ini, meski sederhana, memiliki kekuatan luar biasa dalam membangun kepercayaan dan kredibilitas yang everlasting.
Menurut teori personal branding yang dipopulerkan oleh tokoh seperti Tom Peters, di era informasi ini, setiap individu adalah sebuah brand. "The Brand Called YOU", adalah sebuah tulisannya yang menggetarkan.
Dan seperti halnya brand produk, brand manusia yang kuat dibangun di atas fondasi kepercayaan. Audiens cenderung lebih percaya dan terhubung dengan seseorang yang mereka kenakan nama dan wajahnya.Â
Ini menciptakan apa yang disebut sebagai social capital, di mana nilai sosial dan profesional seseorang meningkat karena jaringan dan kepercayaan yang terbangun.Â
Anonimitas, di sisi lain, seringkali menciptakan jarak emosional. Audiens mungkin menikmati kontennya, tetapi koneksi personal yang mendalam, yang esensial untuk loyalitas jangka panjang, sulit tercipta.