Di tanah kelahiranku, adat istiadat bukan sekedar warisan. Budaya adalah bagian dari hidup sehari-hari yang dihormati dan dijalani dengan penuh kesadaran, hingga sekarang pun itu masih dipercayai dan masih berlaku.Â
Sebagai suku Dayak asli Kalimantan Barat, aku tumbuh dalam nilai-nilai luhur yang diajarkan sejak kecil, salah satunya adalah pamali menolak makanan.
Di tempat tinggalku, menolak makanan yang disuguhkan bukan hanya dianggap tidak sopan, tetapi juga dipercaya bisa membawa kesialan atau kecelakaan, bahkan penyakit dan bisa  juga di sebut Kemponan dalam bahasa Melayu Kalimantan Barat.
Dalam budaya Dayak Kalimantan Barat, setiap suguhan makanan adalah simbol kasih, penerimaan, dan kehormatan.Â
Baik itu makanan biasa, makanan upacara, atau makanan hasil buruan semuanya memiliki nilai dan makna.Â
Ketika seseorang datang berkunjung dan ditawari makanan, menolaknya secara terang-terangan dapat dianggap menolak persaudaraan dan restu dari leluhur.
Aku pernah mengalami sendiri saat diajak ke rumah seorang dalam acara adat Dayak kalimantan barat. Meskipun aku sudah kenyang sebelumnya, aku tetap menerima dan mencicipi makanan yang disuguhkan.Â
Bukan karena takut, tapi karena aku mengerti betapa dalamnya makna di balik satu piring nasi dan lauk sederhana itu. Di dalamnya ada kerja keras, doa, dan niat baik.
Sebagai orang Kristen, aku pernah bertanya-tanya: bagaimana iman Kristen melihat tradisi seperti ini? Apakah itu bertentangan? Justru sebaliknya aku menemukan bahwa ajaran Yesus pun mengajarkan kita untuk menghormati sesama, menghargai, dan menunjukkan kasih dalam tindakan sederhana, termasuk menerima makanan yang diberikan dengan rasa syukur dan hormat.
Dalam Roma 12:18, tertulis: Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang.Â