Dengan demikian, maka dalam praktik demokrasi, keberadaan hukum yang independen menjadi syarat mutlak agar hak rakyat terlindungi dan tidak ada pihak yang kebal hukum, tanpa kecuali.
Ketika Hukum Dijadikan Alat Kekuasaan
Fenomena hukum sebagai instrumen kekuasaan bukanlah hal baru. Sejarah mencatat bahwa banyak rezim otoriter menggunakan hukum sebagai "topeng legitimasi."
 Hal yang demikian telah dipertegas oleh Levitsky & Ziblatt (2018) dalam How Democracies Die, demokrasi tidak runtuh hanya melalui kudeta, tetapi juga bisa hancur secara perlahan tetapi pasti,  melalui manipulasi hukum oleh penguasa.
Ini disebabkan karena, ada beberapa praktik nyata yang menjadi indikator hukum diperalat untuk kekuasaan, antara lain, kriminalisasi terhadap oposisi politik, dimana lawan politik dijerat kasus hukum untuk melemahkan atau membungkam kritik.
Sebagai contoh misalnya, menurut catatan Amnesty International (2022), tren penggunaan pasal karet dalam UU ITE di Indonesia banyak diarahkan kepada aktivis, jurnalis, dan oposisi politik di kalangan Civil Society
Demikian juga, dengan soal impunitas bagi elite politik, dimana kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi sering berakhir tanpa kejelasan hukum. Indonesia Corruption Watch (ICW, 2023) melaporkan bahwa hanya 2 % dari kasus korupsi kelas kakap yang benar-benar berujung pada hukuman berat.
Selain itu, realitas sosial juga memperlihatkan bahwa, selektivitas penegakan hukum, dimana
prinsip equality before the law semakin diabaikan secara gamblang di depan mata.
Dikatakan demikian karena, fakta sosial memperlihatkan secara nyata bahwa, kasus yang melibatkan rakyat kecil cenderung cepat diproses, sementara kasus yang melibatkan kelompok elite malah  diperlambat,  atau bahkan kasus seperti itu justeru  sering ditutup tanpa diketahui kemana rimbanya.
Dalam sudut pandang yang lain, dapat pula dijelaskan bahwa, ada fenomena yang semakin memperlihatkan soal  ketundukan lembaga peradilan. Dan terkait  dengan hal itu,  dapat pula diketengahkan bahwa, berdasarkan hasil Studi World Justice Project (2023), telah menempatkan Indonesia pada peringkat 64 dari 142 negara dalam Indeks Rule of Law. Salah satu faktor utamanya adalah karena rendahnya independensi peradilan.
Dampak Dari  Runtuhnya Demokrasi
Dalam catatan sejarah di berbagai negara di dunia, ketika hukum diperalat oleh kekuasaan, maka  konsekuensi yang akan  muncul sangatlah serius, antara lain misalnya, terjadinya erosi kepercayaan publik kepada negara dan pemerintah.
Dikatakan demikian karena, menurut survei dari Lembaga Survei Indonesia (2023) menunjukkan bahwa, 48 % masyarakat percaya bahwa, Â hukum di Indonesia lebih berpihak kepada yang berkuasa. Ketidakpercayaan ini berpotensi memicu apatisme politik di kalangan masyarakat pada umumnya.
Kemudian, sebagai derivasi dari hal di atas, adalah meningkatnya otoritarianisme, dimana dapat dinarasikan bahwa, jika hukum hanya menjadi instrumen penguasa, maka  demokrasi akan bertransformasi menjadi otoritarianisme elektoral (electoral authoritarianism). Dan pada akhirnya negara memang tetap menyelenggarakan pemilu, tetapi tanpa adanya  jaminan keadilan hukum.
Demikian pula dengan ketidakadilan sosial, dimana penegakan
hukum yang timpang, Â akan memperlebar kesenjangan sosial. Kaum miskin dan lemah akan terus menjadi korban ketidakadilan struktural, sementara elite politik dan ekonomi terus menikmati impunitas yang mengernyitkan kening banyak kalangan di tengah masyarakat.