Mohon tunggu...
Gordi SX
Gordi SX Mohon Tunggu... Freelancer - Pellegrinaggio

Alumnus STF Driyarkara Jakarta 2012. The Pilgrim, La vita è bella. Menulis untuk berbagi. Lainnya: http://www.kompasiana.com/15021987

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Jika Anda Pintar Jangan Jadi Sombong

3 Januari 2016   05:34 Diperbarui: 3 Januari 2016   08:49 1181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="memamerkan kehebatan bisa jatuh dalam kesombongan"][/caption]

Gunakan perasaan saat menghadapi manusia, gunakan logika saat menghadapi masalah.

Kutipan ini adalah satu dari sekian pesan ucapan tahun baru yang menyentuh hati saya. Masih banyak yang lainnya yang menyentuh. Kali ini cukup ini yang saya bagikan. Lama, saya merenungkan kalimat di atas. Pertama membacanya, saya langsung setuju. Betul juga. Tapi saya tidak puas kalau hanya sebatas setuju. Mengapa saya setuju? Mengapa saya tersentuh? Inilah pertanyaan yang masih terngiang di otak saya saat membaca kembali pesan itu.

Saya tertarik untuk menjawabnya dari diri saya sendiri. Anggap saja, sayalah objek dari permenungan saya. Benarkah saya menghadapi sahabat saya dengan perasaan? Benarkah saya menghadapi suatu masalah dengan logika? Saya menemukan jawaban ini. Kadang-kadang saya tidak menghadapi sahabat saya dengan perasaan. Sebaliknya, saya malah menghadapinya dengan logika. Untuk masalah, kadang-kadang saya menghadapinya dengan logika. Tetapi kadang-kadang saya malah menghadapinya dengan emosional sehingga saya tidak menemukan jalan keluarnya.

Untuk sahabat, saya punya pengalaman buruk yang akhirnya menjadi pengalaman berharga bagi saya. Tidak pernah lupa dan saya mengingatnya kembali saat saya membaca pesan di atas tadi. Saat kuliah di Jakarta, saya pernah membuat tugas dalam bentuk makalah dengan tema yang diberikan sang dosen. Saya mati-matian mencari sumber untuk mempelajari tema itu. Saya memang akhirnya menguasai betul tema itu. Saya senang sekali. Saking senangnya, saya menulis status di facebook tentang tema itu. Teman saya menyanggah di bagian komentar. Saya juga tidak mau kalau untuk menanggapinya. Kami memang akhirnya terjerumus dalam diskusi panjang—saling komentar—di status saya itu.

Dia menyanggah dan saya balik menyanggah. Saya mencari argumen yang pas untuk mematahkan argumennya. Mula-mula sengit. Kami sama-sama mengajukan argumen yang kuat. Memang sebelumnya kami mendapat jurus jitu dari dosen lain—dalam pengantar studi di semester satu—tentang bagaimana mematahkan argumen lawan dalam sebuah diskusi. Lama-lama diskusi yang hangat ini menjurus ke saling serang secara intelektual. Kami sadar kami tidak saling berkelahi. Kami hanya saling adu argumen. Dan ini lumrah dalam bidang akademik. Teman saya pada akhirnya menyerah karena tidak bisa lagi menyanggah argumen saya. Dia memang tidak bisa karena dia tidak menguasai tema itu. Beda dengan saya yang sudah menyiapkan tema itu dengan baik. Wong itu makalah saya. Intinya saya tidak bisa tertandingi dalam tema itu. Teman saya pun diam dan tidak membalas lagi komentar saya.


Saya senang sekali. Selain senang, saya juga bangga karena bisa mempertanggungjawabkan argumen saya. Saya tidak berhenti dalam perasaan ini. Saya yakin ini hanya sesaat mungkin saja saya bisa kalah dalam adu argumen berikutnya. Lalu, saya diam sejenak, merenungkan kembali apa yang terjadi. Saya bertanya, kok bisa ya saya menang? Mengapa saya mengatakan saya menang? Bukankah teman saya tidak mengatakan kalau saya menang dan dia kalah? Dalam kapasitas apa saya mengatakan dan berhak memutuskan saya menang dalam adu argumen ini? Kok teman saya kalah? Kok teman saya diam dan tidak menyanggah lagi?

Saya merasa sedih setelah berulangkali merenungkan pertanyaan saya ini. Saya merasa tidak enak dengan teman saya. Saya terlalu kebablasan menyerangnya dengan argumen sampai-sampai dia tidak membalas dan menyanggah komentar saya. Jujur, saya tidak enak, saya sedih. Saya kemudian mengirimnya pesan di facebook. Saya memohon maaf padanya. Saya tahu saya tidak menyerangnya secara pribadi, saya tidak menyerang dirinya. Tetapi, saya merasa tidak enak karena saya mematikan argumennya. Dan, ini berarti saya mematikan komunikasi-diskusi yang sedang kami bangun. Rupanya ini buruk sekali bagi saya. Komunikasi yang terjalin terputus gara-gara saya mematikan argumennya. Padahal, jika saya membiarkannya terus berdebat, saya akan belajar banyak hal, dan dia juga akan mendapatkan banyak hal dari diskusi yang sedang kami perbincangkan.

Dia menjawab permohonan saya. Dan, saya terharu membacanya. Dia menulis, saya sama sekali tidak melihat kesalahanmu. Kamu memang menguasai tema itu sehingga argumenmu bagus. Kelihatan sekali bahwa kamu sudah siap membahas tema itu. Saya merasa bangga kamu bisa mempertanggunjawabkannya. Saya jadi malu membaca ini. Saya boleh menunjukkan kehebatan saya tetapi teman saya ini dengan rendah hati membalas dengan tenang. Saya justru melihat kebijaksanaan yang ada padanya. Dia betul-betul bijaksana menyikapi saya yang sedang menggebu-gebu berargumen. Rupanya rendah hati itu penting.

Memang ada bahaya ketika kepintaran itu menjadi milik kita. Jika salah menggunakannya bisa-bisa kita jadi sombong. Padahal, kepintaran (pengetahuan) sebaiknya digunakan demi kebaikan bersama. Konkretnya, jika Anda punya pengetahuan tentang sesuatu, gunakan itu untuk memberitahu teman-teman yang belum tahu tentang itu. Ini baru namanya pengetahuan/kepintaran yang berguna. Sebaliknya, jika Anda memamerkannya di hadapan teman Anda dan menggunakannya untuk menyerang teman Anda, Anda akan jatuh dalam bahaya kesombongan. Seolah-olah yang lain tidak tertandingi, padahal, bisa saja orang lain yang melebihi Anda tetapi mereka tidak menunjukkan (memamerkan) kehebatannya di depan sesama.

Untuk yang ini, saya kaget membaca status seorang teman di facebook hari ini. Dia menulis sebuah peringatan untuk temannya. Bunyinya kira-kira demikian—dalam Bahasa saya: Jika Anda tidak senang dengan status saya, abaikan saja dan tidak boleh menanggapinya dengan komentar yang tidak bermanfaat. Tetapi, jika Anda mampu dan punya otak yang cukup, kita berdebat saja. Jika tidak cukup mampu, Anda belajar lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun