Meski langit bewarna gelap
Dan awan hujan kian menebal
Bukalah telapak tangan
Peluh peluh akan mengalir
Di kaki langit itu...
Â
Meski pancaran matahari
Membakar legam bahu bahu
Bukalah seluruh dada
Nikmatilah dengan raksa
Di kaki langit itu....
Â
Meski paku pualam
Menembus sedalam perasaan
Membelah lumpur air mata
Di tanah moyang
Di kaki langit ini....
Â
Jangan...!
Kau tebang  (kaki)nya
Menjadi dunia penuh munafik
Â
Jangan...!
Kau genggam ke(bodoh)annya
Menjadi keledai keledai tua
Â
Dan, Jangan...!
Kau bakar (hati)nya
Bagai daun daun kelaras
Â
Meski bentangan laut
Menembus tanah ini
Nan elok di lepas pandangan
Bagai perawan bermahkota
Terimalah penuh dengan bangga
Â
Meski mata terbelalak
Hujan tawa terasa indah
Â
Jangan...!
Â
Menebar mimpi
Bagai taburan gemintang
Di bentangan jagat raya
Â
Ataukah menjadi pangeran
Yang bersekutu
Dengan raja raja dan maharaja
Di tanah moyang
Di kaki langit ini....
Â
Meski kerontang melanda
Dahaga menjadi air mata
Merekahlah tanah retak
Merah pancaran matahari
Kuncup tunas
Tetap menetas
Di kaki langit ini....
Â
Jangan..!
Â
Kau petik (kembang )
Menjadi dongeng dongeng
Penghias bentangan jalan
Bagai reklame
Atau slogan slogan
Konspirasi ...
Di kaki langit ini
Di tanah nenek moyang
Â
Aku ...!!,
Â
bersujud
Mencium butiran pasir Â
Di bawah.....
Moyangku terbaring
Tertembus kaki langit ini
Tersenyum...,
Demi anak cucu
Generasi ini....
Â
Â
Rasull abidin, 06 Jan 2013
Jembatan Suramadu