Mohon tunggu...
Khus Indra
Khus Indra Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pecinta Sastra dan Seni |\r\nPengagum pemikiran Friedrich Nietzsche | Pengkritik ulung

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mau Sampai Kapan Korupsinya?

6 November 2013   19:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:31 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bumi ini bisa menampung segala yang ada di atasnya, kecuali kerakusan dan keserakahan manusia."


Kata Gandhi. Tidakkah berita buruk lebih banyak daripada berita baik. Suara tukang roti di pagi hari lebih optimis daripada mendengar berita pagi di negeri ini. Berita yang sudah menjadi makanan pagi kita setiap hari tidak lain adalah Korupsi. Konsumsi wacana korupsi di Indonesia seperti tiada habisnya di negeri ini. Berbagai fase yang telah dilewati oleh Indonesia, tidak pernah terlepas dari persoalan Korupsi. Apakah Korupsi merupakan warisan yang memang sudah turun-temurun wajib dilestarikan bersama? Apakah ini merupakan suatu mata rantai yang tidak pernah terputus dari sebuah negera yang menginginkan hal-hal utopia seperti keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyatnya?

Seperti lingkaran yang tidak akan pernah berakhir di satu titik. Begitu juga dengan maksud Gandhi, Bumi ini tidak dapat menampung lingkaran keserakahan dan kerakusan dari manusia itu sendiri. Kita tahu bahwa korupsi dilakukan atas dasar rakus dan serakah untuk mendapatkan sesuatu dengan jumlah lebih. Para koruptor ataupun calon koruptor pasti akan merasakan psikologis seperti ini sebelum beliau melakukan aksi korupsinya. Dan, hal yang paling parah adalah hal tersebut dilakukan dengan perasaan tidak takut ataupun malu terhadap rakyat yang telah diambil uangnya tersebut.

Apakah kita yang sebagai rakyat hanya akan menjadi penonton bagi mereka- mereka yang sedang beraksi di panggung korupsi? Apakah kita hanya akan mewariskan gejala-gejala seperti ini  kepada generasi yang akan datang? Apakah warisan kita yang dititipkan tidak lebih baik dari yang sekarang ini? Mau sampai kapan korupsinya?

Sampai Kapan

Korupsi bukan merupakan penyakit yang asing di telinga kita. Ketika kita mengetik kata 'korupsi' di mesin pencari google, maka akan muncul sebanyak 29.600.000 kata yang berbicara mengenai korupsi. Kata ini pun mengalahkan kata kejahatan yang lain, seperti kata 'bunuh/ pembunuhan' dan kata 'curi/ pencurian' yang hanya muncul di bawah 15.000.000 kata. Hasil pencarian ini hanya dilakukan dalam bahasa Indonesia.

Dari hal tersebut, dapat dilihat bahwa perbincangan ataupun polemik mengenai korupsi sering diutarakan. Tentu saja, implikasinya pasti bukan sesuatu yang menyenangkan, melainkan kritikan untuk perbuatan korupsi tersebut. Bukan tanpa sebab juga, mengapa kata korupsi sering diumbar di jejaring internet. Mereka sudah bosan dan lelah mendengar kata yang meruntuhkan nilai nurani manusia sebagai makhluk yang saling tolong-menolong. Hal yang wajar jika para koruptor dihujat habis-habisan oleh warga yang merasa diambil uangnya tersebut. Masayarakat lelah, capek, lunglai mendengar bahwa persoalan korupsi tidak ada habisnya di negeri ini.

Apakah kehadiran KPK tidak dianggap oleh calon koruptor? Apakah saat ini KPK kurang garang di mata mereka? Jangan-jangan ketika penulis sedang mengetik tulisan ini, di tempat lain sedang terjadi transaksi-transaksi aneh. Apakah para calon koruptor tidak lelah untuk terus melakukan hal itu? Keserakahan kalian mau dibawa sampai kapan? Sifat dasar manusia yaitu ingin selalu berpuas diri. Tetapi, apakah kalian tidak puas dengan apa yang sedang dimiliki sekarang ini? Peringatan untuk calon koruptor!

Yang bertindak penegak hukum, malah mereka yang sendiri menerima tegaknya hukum itu. Yang berkata tidak pada korupsi, ternyata hanya tipu muslihat untuk melancarkan aksi korupsinya. Ya, semua ini hanya menunggu waktu. Ketika sudah ditangkap, hukuman hanya dianggap sebagai isapan jempol belaka. Berbagai pleidoi selalu dibacakan untuk meringankan hukuman (Belum termasuk remisi).

Ironi. Ada privilise dari hukum tersebut bagi mereka yang memiliki fulus banyak. Bagi yang tidak berfulus, jangan terlalu berharap sepenuhnya kepada keadilan. Keadilan dapat dibeli di pengadilan. Tetapi, kebenaran selamanya akan menjadi seperti buah yang ranum. Waktu-lah yang akan menampilkan tajamnya pisau kebenaran itu. Pertanyaan besarnya adalah Kapan?

Semua utopia dan harapan mengenai kapan berhentinya korupsi itu tidak akan terjadi apabila di dalam pribadi kita masih menampung dosa-dosa sosial. Dosa-dosal sosial juga pernah dikatakan oleh Gandhi. Gandhi menyebutkan bahwa 7 dosa sosial itu yaitu:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun