Mbah Wongso, perempuan berusia 63 tahunan itu memang cukup terkenal di desanya. Tak lain dan tak bukan karena profesi mbah Wongso sebagai dukun beranak yang cukup mumpuni, piawai, dan cekatan. Profesi itu sudah dia geluti saat umurnya masih muda. Terlahir di sebuah desa kecil yang termasuk wilayah Karesidenan Surakarta, Mbah Wongso yang bernama asli "Sumiati" ini harus ke pulau Kalimantan pada awal tahun 1977 karena suaminya (Wongso) bekerja di sebuah perusahaan kayu di sana. Di desa terpencil di pedalam Kalimantan sinilah Mbah Wongso memulai profesinya. Maklum saat itu belum banyak tenaga medis seperti sekarang. Berawal dari membantu tetangga yang melahirkan, lama kelamaan Mbah Wongso jadi terbiasa membantu persalinan. [caption id="attachment_175872" align="aligncenter" width="442" caption="Desa terpencil (ilustrasi penulis)"][/caption] Seiring berjalannya waktu perusahaan tersebut mendirikan rumah sakit lengkap dengan petugas dan peralatan medisnya. Pun demikian dengan pemerintah. Sebuah puskesmas juga berdiri di desa tersebut. Namun begitu masih banyak warga yang memakai jasa Mbah Wongso. Bila ada sesuatu yang bersifat darurat, Mbah Wongso akan merujuk pasiennya ke puskesmas atau rumah sakit tadi. Hidup di sebuah desa yang notabene merupakan sebuah base camp perusahaan memang beragam. Hampir semua suku ada. Seperti Dayak, Paser, Jawa, Sunda, Batak, Manado, Bugis, Toraja, Timor, Lombok, Bali, dan masih banyak lagi. Pun demikian Mbah Wongso tidak pilih kasih. Siapa saja yang membutuhkan pertolongan akan dia bantu sebisanya.
*****
"Dek, sudah berapa bulan usia kandunganmu?" tanya Daeng Udin kepada istrinya
"Sudah sembilan bulan kak, tinggal hitungan hari lagi" jawab Wati sang istri
"Mudah-mudahan adek dan anak kita nanti sehat dan selamat ya dek!"
"amiin kak, sekarang tidur yuk! sudah malam nih " ujar Wati
Udin dan Wati adalah keluarga muda yang sedang antusias menanti kelahiran sang buah hati. Udin yang bekerja sebagai operator crane di perusahaan kayu tersebut memang begitu memperhatikan keselamatan istri dan calon anaknya. Bagaimana tidak, beberapa bulan terakhir ini, isu adanya parakang memang menghantui desa mereka. Entah sudah berapa bayi meninggal yang kabarnya jadi korban parakang. Parakang sendiri konon merupakan manusia yang menuntut ilmu hitam, sehingga bisa berubah wujud menjadi apa saja, termasuk binatang, pohon, bahkan menyerupai manusia. Berbagai upaya telah Udin lakukan agar bayinya selamat. Kemanapun Wati pergi, ia diharuskan selalu membawa gunting kecil, bulu landak, dan minyak bumi dalam botol kecil di tasnya. Bahkan di salah satu bagian bajunya selalu terdapat bawah putih tunggal dan umbi dringo yang ditusuk dengan peniti.
Suatu malam saat hendak tidur, tiba-tiba perut Wati terasa mulas.
"Kak, aduh perutku mules sekali. Cepat panggil Mbah Wongso kak!" perintah Wati pada suaminya
"Iya dek, jangan kemana-mana ya! Kakak akan segera kembali " jawab Udin tergopoh
Dengan hanya membawa senter, udin bergegas menuju rumah Mbah Wongso. Jalanan malam itu benar-benar sunyi dan lengang. Meskipun untuk sampai ke rumah Mbah Wongso Udin harus melewati tepi hutan yang sunyi, namun ia tidak takut. Dia hanya ingin istri dan anaknya selamat. Hingga tiba-tiba: