Mohon tunggu...
Adhi Glory
Adhi Glory Mohon Tunggu... -

Saya seorang maniak "One Piece", penyuka "Purple Cow", saat ini berdomisili di Palembang. Silakan hubungi saya di glory2go@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Temanku Lana (09 - Selesai)

6 Juni 2011   04:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:49 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Kenapa kamu memberitahukan semua ini padaku sekarang?”

“Saya tahu selama ini saya banyak melakukan hal buruk padamu, Ben. Saya hanya gak ingin kamu meninggalkan dunia ini tanpa mengetahui kebenaran yang sebenarnya.” Robin mengenakan kacamata hitamnya. “Selamat tinggal, Teman Lama…” katanya lagi, masuk ke dalam mobilnya. Tak lama kemudian mobil itu pun berlalu, meninggalkan asap tipis di atas aspal.

Ia masih saja Robin yang congkak dan penuh harga diri. Tapi aku tahu hari itu, dari caranya berbicara dan menutupi sorot matanya dengan kacamata hitamnya tadi, ia menyesali perbuatannya.

Aku terima itu sebagai permohonan maafmu, Robin…

Nah, sekarang sebaiknya aku mengantarkan Lana pulang. Aku pun lekas menghampiri Lana yang sedari tadi berdiri kaku di tempatnya, mematung. Wajahnya tampak pucat. Mungkin ia masih syok karena perkelahianku dengan Robin tadi.

“Kamu gak pa-pa ‘kan?” tanyaku. Tapi yang kudapat sebagai jawaban setelahnya hanyalah ceracauan aneh keluar dari mulutnya:

“Harimau! Harimau!” serunya tiba-tiba, matanya membelakak menatapku. “Jangan mendekat! Jangan mendekat…!”. Entahlah. Aku tak mengerti. Ekspresinya menampilkan kengerian yang luar biasa di wajahnya yang seputih kapas. Sepertinya ia melihat sesuatu yang berbeda di dalam diriku. Sesuatu yang lain.

“Lana, ini Beni… Kamu kenapa sih?”

Ia memekik. “Harimau! Harimau! Pergi! Jangan mendekat…!”

“Tenang, Lana… Tenang! Ini Beni. Saya gak akan menyakitimu…”

Aku memegang erat pundaknya, berusaha menenangkannya. Tetapi Lana malah meronta dan berteriak histeris. Seolah semua kata-kata yang kuucapkan padanya barusan terdengar serupa auman harimau yang hendak menerkam dan memangsanya bulat-bulat di telinganya. Aku tak habis pikir. Aku mulai takut terjadi sesuatu pada dirinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun