Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Temanku Lana (09 - Selesai)

6 Juni 2011   04:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:49 115 0
“Kenapa kamu memberitahukan semua ini padaku sekarang?”


“Saya tahu selama ini saya banyak melakukan hal buruk padamu, Ben. Saya hanya gak ingin kamu meninggalkan dunia ini tanpa mengetahui kebenaran yang sebenarnya.” Robin mengenakan kacamata hitamnya. “Selamat tinggal, Teman Lama…” katanya lagi, masuk ke dalam mobilnya. Tak lama kemudian mobil itu pun berlalu, meninggalkan asap tipis di atas aspal.


Ia masih saja Robin yang congkak dan penuh harga diri. Tapi aku tahu hari itu, dari caranya berbicara dan menutupi sorot matanya dengan kacamata hitamnya tadi, ia menyesali perbuatannya.


Aku terima itu sebagai permohonan maafmu, Robin…


Nah, sekarang sebaiknya aku mengantarkan Lana pulang. Aku pun lekas menghampiri Lana yang sedari tadi berdiri kaku di tempatnya, mematung. Wajahnya tampak pucat. Mungkin ia masih syok karena perkelahianku dengan Robin tadi.


“Kamu gak pa-pa ‘kan?” tanyaku. Tapi yang kudapat sebagai jawaban setelahnya hanyalah ceracauan aneh keluar dari mulutnya:


“Harimau! Harimau!” serunya tiba-tiba, matanya membelakak menatapku. “Jangan mendekat! Jangan mendekat…!”. Entahlah. Aku tak mengerti. Ekspresinya menampilkan kengerian yang luar biasa di wajahnya yang seputih kapas. Sepertinya ia melihat sesuatu yang berbeda di dalam diriku. Sesuatu yang lain.


“Lana, ini Beni… Kamu kenapa sih?”


Ia memekik. “Harimau! Harimau! Pergi! Jangan mendekat…!”


“Tenang, Lana… Tenang! Ini Beni. Saya gak akan menyakitimu…”


Aku memegang erat pundaknya, berusaha menenangkannya. Tetapi Lana malah meronta dan berteriak histeris. Seolah semua kata-kata yang kuucapkan padanya barusan terdengar serupa auman harimau yang hendak menerkam dan memangsanya bulat-bulat di telinganya. Aku tak habis pikir. Aku mulai takut terjadi sesuatu pada dirinya.


Semua orang yang melewati tempat itu mulai melihat ke arah kami. Ralat, sebenarnya sejak sedari adegan perkelahian antara aku dan Robin tadi. Tapi tak ada satu pun yang berniat mendekat, mereka hanya menjulurkan leher masing-masing dari kejauhan untuk mencari tahu apa yang terjadi.


“Lana, tenangkan dirimu…! Kita dilihatin orang-orang tuh,” bujukku pelan, mencondongkan wajahku menatapnya. “Ayo, saya akan mengantarkanmu pulang!”


Tapi Lana sama sekali tak mau beranjak dari tempatnya, ataupun mendengarkanku. Melotot padaku, sementara kedua tanganku memegang erat bahunya, ia berusaha keras memiringkan kepalanya menghindariku. Bergidik ngeri. “Harimau! Harimau putih! Lepaskan! Lepaskan saya…!!” Ia meraung-raung liar.


Harimau putih? Ya Tuhan! Aku teringat sesuatu sekarang. Lana dulu pernah mengatakan padaku kalau aku mempunyai sesosok pelindung di dalam diriku. Pelindung tak kasat mata, jelasnya waktu itu, di mushola belakang sekolah. “Kamu memiliki seekor harimau putih di dalam dirimu yang ditanamkan oleh almarhum kakekmu ketika kamu belum bisa mengingat.—Aku menampilkan ekspresi tak percaya, sementara ia tersenyum penuh keyakinan—Saya yakin, saat kamu berkelahi, kamu akan menjadi lawan yang sangat kuat.”


Aku terkesiap mendengar kata-kata itu berdenging di dalam kepalaku, dan secara sadar mengendurkan peganganku pada bahunya untuk meredakan ketegangan yang merambati persendianku. Memanfaatkan kelengahanku, Lana kemudian berhasil berontak melepaskan diri dariku, dan secara tiba-tiba mendorongku dengan sekuat tenaganya. Tumitku tergeser ke pinggiran trotoar, terpeleset, tubuhku kehilangan tumpuannya dan terpelanting ke badan jalan di belakangku. Pada saat bersamaan sebuah mobil melaju dengan kencang dari arah sampingku dan seketika kematian menyambarku tanpa ampun. Tubuhku terpental sejauh tiga meter dan jatuh berguling-guling di atas aspal. Darah mengalir dari hidung, mulut, serta tempurung kepalaku yang menganga. Darah di mana-mana! Merembesi kemeja putih garis-garis kesukaanku, merembesi aspal tempatku terbaring.


Orang-orang berteriak dan berdatangan. Kulihat di sana, dengan pandangan lamur untuk yang terakhir kalinya, di tempat Lana berdiri, ia berteriak histeris:

“Dia memang akan segera mati! Dia memang akan segera mati! Saya tahu itu! Saya sudah diberitahu!” Lana menunjuk padaku. Seluruh aliran darah yang berjalan dalam rangkaian nadi di tubuhnya berdesir hebat, menimbulkan denyut-denyut menusuk seperti paku dipukul palu di kepalanya. Ia merasa mual. “Saya membunuhnya! Hahahaha...!" muntahnya. "Saya membunuhnya… Hiiiiiyy…!!” Ia mulai menggosok-gosokkan kedua tangannya ke tubuhnya dengan jijik, seolah ia berkubang di dalam lumpur busuk—lumpur dosa—dan mengacak-ngacak rambutnya sendiri dalam kalut tak terbilang. Selama ini ia telah banyak melihat kematian mengintai seseorang, namun ia tak pernah menyangka ternyata kali ini ia juga lah yang bertugas menjadi algojo pencabut nyawa orang tersebut. Ia merasa sangat ketakutan dan akal sehatnya tak sanggup menerimanya.[]

Temanku Lana (01)
Temanku Lana (02)
Temanku Lana (03)
Temanku Lana (04)
Temanku Lana (05)
Temanku Lana (06)
Temanku Lana (07)
Temanku Lana (08)

>>Baca dan berlangganan karya saya lainnya disini.
>>Kunjungi juga blog saya di http://sihirkata.blogspot.com.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun