Mohon tunggu...
Adhi Glory
Adhi Glory Mohon Tunggu... -

Saya seorang maniak "One Piece", penyuka "Purple Cow", saat ini berdomisili di Palembang. Silakan hubungi saya di glory2go@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Manusia Ulat Bulu (04)

23 Juni 2011   05:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:15 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Ini! Cepat kamu minum,” kata sang tabib kemudian, setelah berhasil mengendalikan emosinya, menyodorkan gelas berisi air putih yang telah dijampi-jampinya pada Ayah.

Ayah bergerak menyambutnya. Pelan—pelaaaann… sekali menjulurkan lehernya menuju gelas yang diletakkan sepuluh senti di lantai di depan wajahnya. Setelah diraihnya segera diseruputnya air di dalam gelas tersebut dengan bibirnya—Ibu meyakinkan diri ada yang aneh pada bibir suaminya saat itu, bibirnya tampak lebih mungil dari sebelumnya dan berwarna kebiruan. Setelah pipinya mengembung penuh menampung air di dalam mulutnya barulah Ayah berhenti menyeruput minumnya. Lalu mendongak, dan tiba-tiba, tanpa aba-aba, disemprotkannya seluruh air di dalam mulutnya itu tepat ke wajah sang tabib.

“Cukup!” sang tabib mengusap wajahnya yang basah dengan geram. Seiring telapak tangannya yang perlahan turun dari rabaan di wajahnya, roman wajah itu kini berubah merah. “Hentikan leluconmu, Yon! Kurang ajar sekali kamu mempermainkan orang tua di tengah malam buta seperti ini… Saya tak yakin kamu kerasukan! Saya tak melihat tanda-tanda seperti itu pada dirimu. Berhentilah menakut-nakuti orang-orang di sekelilingmu!” Ia meradang garang.

Tapi Ayah, seperti orang yang bukan dirinya saat itu, lantas menjulurkan lehernya tinggi-tinggi, menatap balik wajah sang tabib tua yang berdiri tegak di hadapannya itu. Ibu baru menyadari ternyata wajah Ayah tampak pucat sekali. Lalu sungging senyum di bibirnya—lihatlah, tiba-tiba saja ia menyeringai di saat yang tak tepat, sama sekali seperti bukan kelakuan Ayah!—seolah mengejek dan mengatakan “Oh ya?”. Lalu matanya—mata itu sungguh menakutkan! Seolah merefleksikan tatapan iblis dari kegelapan yang paling dalam. Di bawah sinar lampu pijar, kedua bola matanya, bagian pupil dan lingkaran putih di sekelilingnya, telah berubah menjadi hitam pekat seluruhnya. Membulat, tapi tak melotot. Sementara wajahnya yang seputih kapas seperti sedang berusaha menampilkan kesan lucu dan imut, seperti mimik bayi yang sedang tersenyum di peraduannya pada orang yang mengajaknya bermain, tapi hal itu malah menimbulkan ketakutan bagi yang memandangnya.

Ibu nyaris pingsan, terperanjat ngeri dan bersandar lemas pada kusen pintu menyaksikan hal itu.

“Hiiiiiyy…! Lak-laknat! Jahanam!” umpat sang tabib ngeri. Ia melompat mundur ke ambang pintu. Gemetar tangannya menunjuk ke muka Ayah. “Se-setaaaaaaaaannn…!!”

Lalu terbirit ketakutan. Histeris. Secepat kilat tunggang langgang membanting pintu, menerobos pekat malam, dan menghilang di ujung jalan.

Sepanjang malam setelahnya Ibu tak bisa terlelap. Ia beringsut di kursi ruang tamu dengan perasaan panik luar biasa membayangkan apa yang bakal terjadi selanjutnya. Kunci kamar Ayah ia bekap rapat-rapat dalam genggamannya yang sedingin es. Sepeninggal sang tabib tadi ia segera mengunci Ayah di dalam kamar.

Lama Ibu bernegosiasi dengan rasa dag-dig-dug yang bersorak di dada. Setan apa yang kini menguasai suaminya… Ibu dirundung takut memikirkannya. Kalau saja tak memikirkan adik perempuanku yang baru berusia tujuh tahun di kamar sebelah, pasti ia telah mengungsi dan menumpang tidur di rumah tetangga. Tapi ia tak mau membangunkan Manda, ia tak ingin anak bungsunya itu melihat keadaan Ayahnya dan menjadi ketakutan seumur hidup terhadapnya.

***

Aroma kopi hangat di atas meja membangunkan Ibu yang terbaring di kursi ruang tamu. Kepalanya terasa berat. Ia hanya tertidur selama tiga jam semalam. Samar-samar ia mengucek matanya, dan mendengar sebuah siulan khas yang biasa didendangkan suaminya di pagi hari. Benar, suaminya itu kini tengah menyisir rambut di depan cermin di dekat TV. Ruang tamu dan ruang keluarga rumah itu menyatu, berhadapan dengan dua kamar yang saling berhimpitan satu sama lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun