Mohon tunggu...
Adhi Glory
Adhi Glory Mohon Tunggu... -

Saya seorang maniak "One Piece", penyuka "Purple Cow", saat ini berdomisili di Palembang. Silakan hubungi saya di glory2go@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kisah Langit Jingga (06)

4 Agustus 2011   03:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:06 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Oh…”

“Oh? Ta-tapi, tidakkah kamu merasa sangat penasaran? Kamu ingin mengetahuinya ‘kan? Ini penemuan hebat, lho!”

“Bukankah tadi saya sudah bilang kalau Kakek hebat?”

“Hehehehe… Ah, tidak juga kok! Memang kelihatan ya?”

Dasar profesor sinting haus pujian!

“Ini penemuan penting yang bisa mengubah masa depan dunia,” kata Profesor Haris. “Makanya harus dirahasiakan agar tidak disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.”

“Menarik. Tapi tak ada hal yang dapat mengubah masa lalu,” sahutku dingin sambil terus menyetir, pandanganku lurus ke depan. Tiba-tiba aku teringat pada peristiwa kematian Jingga kemarin. Dan itu terasa sangat menyesakkan di sini—di dadaku.

“Apa ada yang mengganggu pikiranmu, Anak Muda?” Profesor Haris memandangku prihatin. “Kamu tahu, tubuh manusia mempunyai sistem pembuangan yang berfungsi menyaring racun dan mengeluarkannya dari dalam tubuh. Begitu juga seharusnya dengan pikiran yang mengganggu. Itu harus dikeluarkan, kalau tidak akan menyumbat masuknya pikiran baik ke dalam kepalamu dan membuat harimu menjadi buruk, bahkan lebih buruk.”

Mendengar hal itu aku berpikir mungkin itulah yang sebenarnya terjadi pada Jingga. Seandainya saja, ah, seandainya saja aku bisa mengatakan hal itu padanya… Tapi nyatanya semua itu sudah terlambat sekarang! Aku kemudian menceritakan semua yang kurasakan berikut kesedihanku pada Profesor Haris. Ia mendengarkanku dengan seksama dan merasa prihatin untukku. Meski itu tidak serta merta membuatku merasa lebih baik, tapi aku merasa cukup lega setelahnya.

Profesor Haris memintaku menurunkannya di sebuah halte busway di pusat kota. Menurutnya, aku sebaiknya segera pulang dan butuh waktu untuk berpikir sendiri. Sebelum turun dari mobilku ia meletakkan selembar kartu nama di atas dasbor, dan berucap dengan tulus padaku: “Kamu seorang anak muda yang baik. Kalau kamu mau datang ke tempat saya, mungkin saya bisa sedikit membantumu.”

Aku mengambil kartu namanya dan terkejut. Tercetak dalam huruf tebal: Prof. Haris F. Wijaya Ph.D. Bukankah ia seorang ahli fisika nasional yang tersohor hingga ke mancanegara itu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun