Mohon tunggu...
Gloria Fransisca
Gloria Fransisca Mohon Tunggu... Jurnalis - Writer

My name is Gloria Fransisca Katharina Lawi, I was born in Jakarta. Experienced in media service especially as writer, journalist, researcher, public relation, and social media content for almost 10 years in KONTAN and Bisnis Indonesia. Currently, I am doing my new role as Content Caretaker of political platfom, MOSI.ID.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tentang Kartini yang Galau

21 April 2016   01:46 Diperbarui: 21 April 2016   01:58 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Lalu teringat beberapa tangis-tangis yang tak diketahui orang terdekat saya. Tangis-tangis saya saat berjalan kaki sendirian. Tangis di atas Tranjakarta. Tangis di atas kereta. Terlebih sering tangis di atas Grab Bike. Tangis saat ayah sakit, ibu sakit, adik sakit, saat ada yang meninggalkan dunia. Tangis yang mau tak mau saja memaksa keluar bahkan ketika saya sedang mengetik berita.

Tak hanya itu, saya juga pernah mengalami fase dimana saya harus mengetik berita tetapi iseng-iseng membuka lama facebook (mantan) gebetan dan disana melihat postingan update foto terbaru dia yang menuai banyak likes dan komen. Di mana saat itu barulah saya merasa berada sangat jauh dari pengenalan pada sosok yang saya sukai. Atau iseng-iseng saat kepo lagi laman facebooknya dan menemukan update-update-an bersama perempuan lain. Entah share blog, share apapun, likes apapun, di saat satupun share-an saya tak mendapat perhatian. Sedih awalnya, sedih banget kalau dirasakan. Ya balik seperti kata si Kakak, kadang hal-hal sepele itu sungguh meracau konsentrasi.

Tetapi sekali lagi, saya pikir memang ada beberapa letak kesalahan dalam diri saya sendiri sebagai perempuan. Saya mengizinkan diri saya untuk menggalaukan sesuatu. Saya membiarkan orang lain menguasai emosi saya, bahkan saya kini berani berpikir bahwa itu sebuah kebodohan karena yang bersangkutan saja pasti tidak pernah tahu dia berhasil menguasai emosi saya.

Saya mulai belajar bagaimana membedah rasa dan mulai memperbanyak pikiran yang serius. Saya pikir Tuhan sungguh baik mempertemukan saya dengan si Kakak. Kata si Kakak, perasaan-perasaan tak mengenakkan yang bisa meracau manusia harus dikendalikan oleh manusia itu sendiri. Persis.

Aku pun mulai sedikit memberanikan diri mencoba bercerita tentang beberapa teman-teman kantorku yang adalah teman kampus si Kakak. Sampailah kami pada nama mantan si Kakak. Aku masih pura-pura bodoh seperti anak baru di kantor, dia hanya tertawa kecil saat menyebut nama mantannya. Dia mengakui, teman kantorku (yang adalah mantannya) itu memang adalah teman kuliahnya. Dia pun bercerita panjang lebar soal mantannya kepadaku. Dia bercerita ringan saja, seperti sedang menceritakan kawan akrab lamanya. Dia bahkan menceritakan karakter sampai kebiasaan teman kantorku ini (yang adalah mantan pacarnya, menurut saya ini perlu diulang-ulang) kepadaku. Untunglah acting teater warisan zaman SMA cukup ampuh untuk menampakkan muka 'Kak aku tak tahu apa-apa soal hubungan kalian.'

Sebenarnya, bisa saja, Kakak curhat colongan dalam bahasa gaul 'curcol' kepadaku, dan blak-blakkan mengakui bahwa teman kantorku adalah mantan yang dimaksudkan dia sudah membuatnya menangis saat menulis berita. Aku menemui sangat banyak perempuan yang gemar blak-blakkan membuka masa lalunya, atau bahkan membaginya kepada orang yang baru dia kenal. Banyak perempuan yang bukan hanya gemar kepo stalker tetapi juga gemar menanyakan kabar si ini dan si itu kepada orang yang terdekat dengannya. Atau memberikan label kepada orang 'Gue mantannya si ini, gue pernah deket sama si ini.'

Ya, tetapi ternyata tidak untuk aku juga si Kakak. Bagi kami, apa yang menjadi pengalaman terdalam kami, kegalauan kami, ya kami pikir, itu sepenuhnya adalah harta kami, dan bukan untuk diumbar-umbar. Mungkin itu juga yang mendorong kami menjadi penulis, menjadi wartawan, menjadi jurnalis. Kami menuliskannya, bukan membicarakannya. 

 

Agak mirip juga seperti Bunda Maria yang selalu memendam semua gelisah dalam hatinya, eh tetapi tidak juga, dia punya Elisabeth, saudara dan senior yang selalu mendengar dan menguatkan Maria terutama pada masa-masa kehamilan. 

 

Begitu pula Kartini, dia adalah perempuan yang galau. Galau kepada kondisi sosial di sekitar, pemberontakkan kepada patriarki yang memarjinalkan posisinya. Siapa perempuan yang tidak galau dijadikan selir, atau istri kedua? Mungkin hanya Astrid yang mau jadi yang kedua, seperti lagu yang dinyanyikannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun