"Ngapain perempuan sekolah tinggi-tinggi? Kalau ujung-ujungnya di dapur"
Zaman telah berubah, tetapi nyatanya, pandangan seperti ini belum sepenuhnya hilang. Sebuah pandangan yang tak hanya merendahkan perempuan, tetapi juga membatasi masa depan mereka.
Saya pernah mendengar kalimat itu dari guru saya sendiri. Jujur, saya cukup terkejut saat mendengarnya, kok bisa seorang guru berkata seperti itu di depan murid-muridnya. Saya tidak tahu apakah beliau bercanda atau tidak saat mengatakannya. Saya rasa juga kurang etis jika seorang guru berkata demikian, apalagi saat sedang mengajar.
Pola pikir seperti inilah yang merugikan perempuan, dan juga menghambat kemajuan bangsa.
Kenapa Stigma itu Masih Ada Sampai Sekarang?
Meski kita hidup di zaman modern, masih banyak masyarakat Indonesia yang beranggapan bahwa pendidikan tinggi bukan kebutuhan utama bagi perempuan. Pandangan tersebut tumbuh dalam budaya patriarki yang sudah mengakar sejak lama. Mereka menganggap bahwa peran perempuan hanya di dapur dan mengurus anak---seolah-olah mimpi, ambisi, dan pendidikan hanya sebagai pelengkap.
Bahkan, dalam beberapa kasus, orang tua lebih rela menyekolahkan anak laki-lakinya sejauh mungkin, sementara anak perempuan diminta "mengalah" demi alasan keluarga dan tradisi. Celakanya, pandangan seperti ini tidak hanya ditemukan di daerah terpencil atau lingkungan konservatif---lingkungan yang menolak perubahan atau ide-ide baru. Di kota besar pun, masih ada yang percaya bahwa perempuan yang terlalu pintar atau terlalu tinggi pendidikannya akan "sulit mendapat jodoh". Seolah-olah, tujuan utama hidup perempuan hanya dinilai dari siapa yang mau menikahinya.
Data BPS tahun 2024, menunjukkan rata-rata lama sekolah perempuan Indonesia hanya 8,54 tahun, sedangkan laki-laki mencapai 9,17 tahun. Di perdesaan, kondisi terlihat lebih timpang, hanya sekitar 6,3% perempuan yang berhasil menempuh pendidikan tinggi, dibanding 14,08% di perkotaan. Ini bukan hanya soal akses, tetapi soal rintangan sosial dan budaya---bahwa perempuan tak sekolah tinggi---yang menghambat mereka untuk mengejar gelar.
Stigma ini tidak hanya membatasi ruang gerak perempuan secara ekonomi, tetapi juga memengaruhi pola pikir mereka sejak dini. Bahkan, banyak anak perempuan tumbuh dengan perasaan bahwa mereka tidak perlu bermimpi terlalu tinggi.
Di sisi lain, sebagian masyarakat masih percaya bahwa perempuan berpendidikan tinggi akan "sulit diatur" atau "tidak tunduk pada suami". Hal ini memperlihatkan bagaimana pendidikan perempuan sering dipengaruhi oleh norma-norma gender yang tidak adil.Â