Semua orang pasti mau bahagia. Tentunya, siapa yang tidak? Tapi di zaman ketika semua orang tampak berlomba-lomba untuk mencapai kebahagiaan, ironisnya, ada sebagian orang yang justru merasa canggung saat kebahagiaan itu benar-benar datang. Ada semacam ketegangan yang muncul diam-diam di dalam hatinya --- semacam bisikan kecil: "Jangan terlalu senang dulu, nanti malah kecewa ujung-ujungnya."
Di satu sisi ia ingin hidup dengan penuh kebahagiaan, tapi begitu kebahagiaan itu mendekat, dia malah ingin mundur selangkah demi selangkah. Entah kenapa ada perasaan curiga pada doa yang tiba-tiba nyata, seolah kebahagiaan yang akan datang itu sebuah jebakan yang dibalut keindahan.
Sebagian dari kita pasti pernah berada di fase-fase seperti itu, ingin sesuatu yang bisa membuat kita bahagia, tapi ketika doa kita terkabul terlalu cepat rasanya, kita malah ketakutan dibuatnya. Di permukaan, mungkin fenomena ini tampak sepele. Tapi di balik semua itu, sebenarnya ada luka yang lebih dalam dan mungkin tidak terasa meninggalkan sedikit trauma akan sebuah perasaan bahagia. Kita jadi takut bahagia karena sudah terlalu sering dikecewakan oleh harapan kita sendiri.
Perasaan Bahagia yang Dianggap Terlalu Mewah
Beberapa waktu lalu, berita duka datang dari kota Bandung. Seorang ibu bersama dua orang anaknya ditemukan dalam keadaan meninggal dunia setelah diduga menenggak sebotol racun serangga.
Catatan pemeriksaan polisi saat itu menyebutkan bahwa tekanan ekonomi dan rasa malu lah yang menjadi pemicu tindakan nekat itu. Kasus ini mengguncang perasaan banyak orang, bukan hanya karena kejadiannya yang begitu tragis, tapi karena diam-diam kita semua juga tahu bahwa ada banyak orang seperti mereka di sekitar kita. Orang-orang yang merasa bahwa bahagia itu terlalu jauh dari kehidupan mereka, terlalu mahal, atau bahkan sampai pada titik menganggap bahwa kebahagiaan hidup memang tidak pantas mereka miliki. Berujung depresi dan kemudian berakhir dengan tindakan nekat seperti itu.
Kita hidup di tengah masyarakat yang sering kali mengukur kebahagiaan hidup seseorang dari pencapaiannya, dari ukuran rumahnya, dari besaran gaji yang mereka terima, atau validasi-validasi sosial berdasarkan kebendaan lainnya yang terus-menerus mereka diperbarui.
Akibatnya, kini semakin banyak orang dengan kehidupan yang biasa-biasa saja tidak lagi mengenali bentuk kebahagiaan yang sederhana. Mereka seolah 'terseret' opini yang dibentuk oleh masyarakat di sekelilingnya dan tanpa sadar ikut sepakat dengan penilaian sosial yang tak berdasar, hingga akhirnya memaksakan diri bekerja di luar batas kemampuan dan jika bahagia yang menurutnya tak kunjung ia dapatkan, depresi dan stress mulai berdatangan.
Bahkan ada yang lebih parah lagi, perlahan-lahan mereka mulai juga takut pada perasaan bahagia itu sendiri, karena setiap kali rasa bahagia akan datang, selalu ada bayangan kehilangan yang mengintai di belakangnya.
Trauma dan Ketakutan yang Tak Bernama