Mohon tunggu...
Gitakara Ardhytama
Gitakara Ardhytama Mohon Tunggu... Penulis

Penulis buku Pejuang Kenangan (2017), Hipotimia (2021) dan Ruang Ambivalensi (2025). Pemimpin Redaksi CV. TataKata Grafika. Aktif menulis artikel dan essai di berbagai platform digital.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Rasa Syukur dan Sikap Tabah Dijadikan Alat Kendali Rakyat

6 Oktober 2025   07:50 Diperbarui: 6 Oktober 2025   07:50 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam teori ekonomi, tindakan nirempati pejabat-pejabat tadi bisa disebut sebagai bentuk Moral Inflation. Moral Inflation dalam teori ekonomi adalah ketika rasa syukur coba untuk terus ditingkatkan sebagai kompensasi psikologis atas stagnasi ekonomi yang terjadi. Pada titik ini, negara boleh-boleh saja mengklaim berhasil menjaga angka inflasi pada tingkat yang terkendali, tapi sesungguhnya mereka gagal dalam menjaga keseimbangan batin warganya.

Politik Dimaknai Sebagai Seni Menata Persepsi, Bukan Menata Hidup

Politik di negeri ini jika kita perhatikan semakin menyerupai kegiatan branding exercise. Pemerintah tidak lagi menjadi pelayan publik, tapi layaknya seorang influencer besar yang selalu sibuk mengelola citranya di depan masyarakat dan tamu-tamunya. Ketika harga-harga naik, mereka buat kampanye-kampanye bernada optimisme. Ketika hutang membengkak, mereka ubah diksinya menjadi "sebuah kebijakan fiskal yang berani."

Semua dikemas rapi dengan pilihan kata bernuansa positif tapi semu, musik yang lembut, senyum sumringah pejabat-pejabatnya, dan slogan-slogan nasionalisme yang hangat di telinga tapi dingin di perut rakyat.

Lalu jika rakyat sudah sadar sedang dibohongi, kenapa mereka diam? Normalisasi seperti ini tidak terjadi karena masyarakatnya bodoh, tetapi karena sistem komunikasi publik yang ada saat ini seolah dikondisikan untuk terus-menerus menata persepsi masyarakat agar yang salah tampak wajar. Dan begitu nilai sosial baru yang mereka tanamkan ini sukses menjadi sebuah kesepakatan baru di publik, maka kemudian yang tampak aneh justru adalah mereka yang masih menjaga nalarnya dan berani mempertanyakan ketidakadilan di sekitarnya.

Ada satu bentuk ketimpangan baru yang jarang kita sadari tapi sudah sering kita lihat sehari-hari: ketimpangan narasi. Pihak yang satu punya akses seluas-luasnya ke media dan bebas melakukan framing dan propaganda, sedangkan yang lain hanya punya doa dan kesabaran. Ketika pemerintah gagal menstabilkan ekonomi, mereka akan "menstabilkan moral" rakyat lewat seruan-seruan religius, konten-konten inspiratif, dan jargon-jargon solidaritas palsu.

Padahal, kesabaran mayoritas rakyat bukanlah seperti sumber daya yang tak terbatas.
Ia bisa habis, dan ketika habis, yang lahir bukanlah sebuah revolusi, tapi apatisme. Orang-orang akan berhenti peduli, karena merasa semua keluhan tak akan mengubah apa-apa.

Dalam konteks ini, maka wajar jika banyak orang memilih diam, pura-pura kuat, atau bahkan menertawakan kesialan mereka sendiri. Karena di sistem yang menormalisasi ketidakwajaran, humor menjadi satu-satunya cara bertahan tanpa kehilangan kewarasan.

Penutup: Bersyukur Tanpa Tunduk

Bersyukur itu baik, tapi tidak harus selalu tunduk pada keadaan yang tidak adil dan pasrah sepenuhnya. Kita boleh berterima kasih pada hidup, tapi tetap berhak menuntut keadilan dari sistem yang korup dan menindas. Kita boleh bekerja keras, tapi juga berhak bertanya ketika hasil kerja keras kita itu tidak pernah cukup untuk hidup layak. Kita boleh tabah, tapi bukan berarti kita harus diam dan pasrah.

Normalisasi ketidakwajaran hanya bisa berhenti kalau kita berani mengembalikan makna kewajaran itu sendiri, bahwa hidup layak bukanlah sebuah kemewahan, tapi adalah hak setiap manusia.

"Bersyukur adalah sebuah tindakan yang sakral dan tak pernah salah, tapi diminta terus bersyukur tanpa kesempatan untuk menuntut keadilan, hanyalah bentuk kepasrahan yang dipoles agar tampak indah dipandang tapi tidak untuk dinormalisasikan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun