Mohon tunggu...
Gitakara Ardhytama
Gitakara Ardhytama Mohon Tunggu... Penulis

Penulis buku Pejuang Kenangan (2017), Hipotimia (2021) dan Ruang Ambivalensi (2025). Pemimpin Redaksi CV. TataKata Grafika. Aktif menulis artikel dan essai di berbagai platform digital.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ruang Publik Gratis yang Kini Terasa Semakin Mahal di Kota-Kota Besar

29 September 2025   09:44 Diperbarui: 29 September 2025   10:47 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Taman Kota yang Terbengkalai. (Sumber foto: Pexels.com/Pixabay)

Pernahkah di suatu minggu pagi, anak Anda mengajak jalan-jalan tapi Anda bingung mau mengajak anak dan keluarga jalan-jalan ke mana? 

Setelah setengah jam buka aplikasi peta online dan akhirnya pusing sendiri menentukan lokasi jalan-jalan akhir pekan yang pas untuk Anda dan keluarga, akhirnya lagi-lagi pilihannya jatuh ke mal lagi, mal lagi. 

Lalu setelah setengah jam di dalam mal, berputar-putar dari satu lantai ke lantai lain tanpa arah, Anda dan keluarga memutuskan untuk pulang saja, tapi anak Anda belum puas dan merengek meminta pergi ke tempat lain. Dan akhirnya siklus terulang kembali, pergi dari satu mal ke mal lainnya, begitulah akhir pekan Anda dan keluarga kecil Anda selama ini.

Di banyak kota-kota besar di Indonesia, kita hampir tidak pernah tersesat mencari mal. Dari ujung jalan yang satu ke ujung jalan lainnya, entah dalam jarak beberapa kilometer atau bahkan ada yang bersebelahan. Bangunan megah berpendingin udara, papan iklan super besar, dan parkiran berlapis-lapis berdiri gagah di setiap sudut kota. Tapi, coba kita ubah pencarian kita. 

Coba cari satu saja taman kota yang luas, teduh, dan gratis untuk digunakan tanpa aturan yang rumit-rumit, pasti akan lebih effort untuk menemukan dan menjangkaunya daripada menemukan papan iklan diskon midnight sale-nya mal-mal tadi.

Fenomena ini sudah bukan lagi sekadar persoalan tata kota. Ia menyimpan ironi mendalam tentang bagaimana ruang hidup kita kini diatur. Seolah publik kini diarahkan ke tempat yang berorientasi pada belanja dan spend money, sementara ruang untuk sekadar duduk, bernafas, atau berinteraksi tanpa uang di tangan makin terpinggirkan.

Stereotype Mal Sebagai Simbol Kemajuan Semu.
Ketika mudik, beberapa kali saya mendengar anak-anak di kampung halaman saya beradu argumen soal seberapa maju sebuah lokasi dari seberapa besar dan banyak mal di sana, seberapa banyak brand-brand makanan dan pakaian yang membuka cabang di kota-kota itu. 

Seolah mereka menganggap bahwa kota yang maju dan makmur hanya dilihat dari indikator-indikator tersebut. Okelah, karena mereka masih anak-anak, apa yang mereka pikirkan tentu masih sangat amat sederhana, kan? Tapi lain cerita saat saya kemudian menemukan fakta bahwa stereotype-stereotype seperti itu ternyata diturunkan dari kakak-kakak atau bahkan orang tua-orang tua mereka.

Entah sejak kapan malsering dijadikan sebagai tanda majunya suatu kota. Karena tidak hanya di kalangan masyarakat, bahkan juga ada pejabat-pejabat yang bangga ketika mal baru diresmikan di daerahnya. 

Mereka mungkin berpikir seolah pertumbuhan ekonomi bisa diukur dari banyaknya pusat-pusat perbelanjaan di suatu daerah, semakin banyak mal, persepsi orang luar akan semakin baik terhadap kotanya. Padahal, kalau kita mau mencermati lebih dalam lagi, sebuah mal bukanlah ruang publik, melainkan ruang privat yang dibuka untuk umum dengan syarat mutlak yang tak tertulis: bersiaplah untuk menjadi lebih konsumtif di sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun