Sindiran untuk Mereka yang Malas Membaca
Coba kita ingat-ingat lagi, berapa banyak pejabat-pejabat kita yang bangga memamerkan koleksi buku-bukunya di rumah, tapi nyatanya rak-rak buku itu lebih sering diperlakukan selayaknya pajangan ketimbang benar-benar membacainya? Berapa banyak yang hanya membaca laporan singkat staf-stafnya, tanpa pernah mau menelaah isinya yang bisa jadi akan membuka pikirannya akan sebuah kebijakan yang benar revolusioner?
Mereka rajin menggunting pita peresmian perpustakaan, tapi jarang sekali terlihat duduk membaca di dalamnya. Mereka sibuk meluncurkan program "Gerakan Literasi Nasional", tapi gagal memberi teladan sederhana, menunjukkan bahwa mereka sendiri adalah pembaca yang aktif.
Ironinya, rakyat-rakyat kecil justru terlihat lebih tekun membaca. Lihat saja guru-guru di pelosok, masih menyempatkan membaca, mengupdate pengetahuan mereka di sela kesibukan mengajar dan pekerjaan sampingan (karena gajinya sangat amat mepet). Sementara pejabat, yang punya akses ke mana pun, justru sering memberi alasan: "Tidak ada waktu."
Padahal waktu mereka bukannya hilang, hanya saja seringkali habis. Habis untuk seremonial, habis untuk rapat basa-basi, habis untuk foto-foto pencitraan.Â
Membaca tak pernah masuk dalam daftar prioritasnya, karena tidak ada kamera yang siap mengabadikan pejabat yang sedang tenggelam dalam halaman buku, kalaupun ada, lagi-lagi itu hanya untuk pencitraan dan quotes-quotes hambar di sosial media. Miris.
Membaca untuk Menyembuhkan Politik yang Bising
Politik di negara kita itu bising. Debat kusir, saling sindir, berita hoaks di sana sini, kampanye-kampanye hitam. Semua itu membuat rakyat muak dan lelah. Membaca buku bisa jadi penawar kebisingan itu.
Buku seringkali mengajarkan kita arti jeda. Membaca mengajarkan diam sebelum menjawab, berpikir sebelum memutuskan. Kalau pejabat kita mau belajar diam dan berpikir lewat buku, mungkin ruang politik kita akan jauh lebih sehat. Tidak ada lagi keriuhan yang hanya sekedar untuk memuaskan ego, melainkan adu argumen yang lahir dari pemahaman dan pengetahuan.
Mungkin itu semua terdengar terlalu utopis. Tapi coba bayangkan, seorang menteri membaca buku tentang filsafat kepemimpinan sebelum membuat kebijakan.Â
Seorang gubernur membaca buku tentang teori kesejahteraan masyarakat urban sebelum merancang sebuah program. Seorang anggota DPR membaca biografi Nelson Mandela sebelum berdebat soal demokrasi. Betapa segarnya wajah politik kita, andai semua itu betul jadi kenyataan.
Membaca Sebagai Investasi Bangsa
Mengapa pejabat kita perlu membaca buku? Karena masa depan bangsa tidak bisa hanya ditopang oleh retorika tanpa makna. Kita butuh pejabat yang cerdas, berwawasan, berempati, dan rendah hati. Semua itu tidak jatuh dari langit, melainkan tumbuh dari kebiasaan membaca.
Membaca adalah investasi jangka panjang, bukan hanya untuk pribadi pejabatnya, tetapi juga untuk masa depan bangsanya. Dengan membaca, pejabat bisa melihat melampaui masa jabatannya, mereka bisa berpikir dalam rentang generasi. Rakyat mungkin tidak selalu tahu buku apa yang mereka baca, tapi rakyat pasti merasakan buahnya dalam kebijakan yang lebih adil, lebih bijak, dan lebih manusiawi.