Mohon tunggu...
Humaniora

Etika Menikmati Hak Milik Orang Lain

13 Maret 2017   23:46 Diperbarui: 14 Maret 2017   00:08 726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Artikel ini berisi penjelasan mengenai Etika Menikmati Hak Orang Lain dalam  islam, yang saat ini banyak fenomena yang terjadi dalam kehidupan nyata, orang dengan mudahnya menikmati hak orang lain tanpa tau hukumnya. Tujuan penulisan artikel ini adalah memberikan pengetahuan kepada manusia tentang bagaimana menikmati hak orang lain dalam islam karena kita adalah umat muslim. Dari artikel ini dapat disimpulkan bahwa perlunya pemahaman kembali dan menerapkan bagaimana cara menikmati harta orang lain lain yang sesuai dengan ajaran agama islam.

Sebelum manusia memulai penghidupannya secara bermasyarakat dan belum tumbuh hubungan antara seorang dengan yang lain, maka belum ada pula apa yang kita namakan hak. Setiap manusia hidup bermasyarakat, bertolong menolong dalam menghadapi berbagai macam kebutuhan. Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu, seseorang perlu mencari apa yang dibutuhkannya, dari alam atau dari milik orang lain. Maka untuk memelihara kepentingan masing-masing perlu ada norma yang mengatur sehingga tidak melanggar hak orang lain, dan tidak pula merebut kemerdekaan orang lain. [1]

Hak kepemilikan secara sederhana dipahami sebagai kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki individu atas sesuatu tertentu. Setiap orang punya hak atas sesuatu tertentu dan dengan hak itu seseorang dapat melakukan apa saja. Hak ini, menurut John Locke (1632-1704) secara alami melekat dalam diri manusia. Dalam konteks ekonomi, terdapat dua hak yang dibawa sejak manusia lahir, yaitu; hak alami atas properti dan hak alami atas kebebasan.[2]

Harta benda yang dimiliki oleh seseorang pada hakikat-nya adalah milik Allah, yang diamanatkan kepada si pemilik, agar digunakan/dibelanjakan untuk jalan yang diridhai Allah, sebagaimana telah ditegaskan dalam al-Quran antara lain dalam surat al-Hadid ayat 7, yang artinya:

“Berimanlah kepada Allah dan Rasulnya dan nafkahkanlah sebagian hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.”

Dan surat an-Nur ayat 33, yang artinya:

“Dan berikanlah kepada mereka (budak-budak yang ingin menembus dirinya melalui perjanjian) sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan kepadamu.”

Islam menghargai dan mengakui hak milik pribadi. Karenanya, Islam telah mengadakan sanksi hukum yang cukup berat terhadap siapa saja yang berani melanggar hak milik pribadi itu. Misalnya: pencuri, perampokan, penggelapan dan sebagainya. Terhadap pencurian misalnya dapat dikenakan hukuman potonga tangan, apabila telah memenuhi syarat-syaratnya. Tetapi perlu diingat, bahwa tidak setiap pencurian boleh dihukum potong tangan. Hukuman potong tangan ini merupakan hukuman maksimal saja, yang mempunyai tujuan edukatif dan untuk melindungi hak asasi manusia, antara lain hak memiliki harta benda.

Islam mengakui hak milik pribadi. Hak milik pribadi itu harus bersifat sosial, karena hak milik pribadi itu harus bersifat sosial, karena hak milik pribadi itu adalah hak milik Allah, yang diamanatkan Allah kepada orang-orang yang kebetulan memilikinya agar digunakan semaksimal mungkin untuk kesajteraan pribadi dan juga untuk kesejahteraan masyarakat. Karenanya, Islam melarang orang menyembunyikan barang yang sangat dibutuhkan orang banyak, misalnya, bahan makanan, dengan maksud agar barang tersebut sukar dicari di pasaran bebas, sehingga akibatnya masyarakat mencari dengan susah payah dan membelinya dengan harga yang tinggi, sedangkan pemilik barang yang tidak jujur tadi mendapat keuntungan yang berlebihan dengan cara yang tidak wajar.[3] Sebagaimana sabda Rasulullah dalam sebuah riwayat Abu Daud “Dari Samurah Bin Jundub RA sesungguhnya Nabi SAW bersabda: jika salah satu diantara kalian mendatangi ternak, apabila ada pemiliknya, hendalah minta izinnya, apabila telah diizinkan, maka ia bisa memerah dan meminum susunya, akan tetapi apabila tidak ada pemiliknya, hendaklah minta izin sampai tiga kali, apabila ia telah menjawabnya berarti ia telah mengizinkannya, dan jika ia tidak menjawabnya, maka ia boleh memerah dan meminum susunya dan tidak boleh membawanya”

Dan ada juga pendapat yang membolehkan kita untuk memiliki hak orang lain seperti contohnya, apabila seseorang membolehkan temannya memakan makanannya, atau memetik buah-buahan di kebunnya, maka si teman itu tidak memiliki makanan atau buah-buahan itu, dia tidak berhak menjual atau membolehkan orang lain memakannya.[4]

DAFTAR PUSTAKA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun