Mohon tunggu...
Gisa Restu Mahameru
Gisa Restu Mahameru Mohon Tunggu... Mahasiswa Bimbingan dan Konseling Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta

-Tulisan ing Sukma-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

"SOCIAL KONFLICT : Kesenjangan karir menjadi ajang untuk saling menjatuhkan"

20 Juni 2025   21:10 Diperbarui: 20 Juni 2025   21:06 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembahasan masalah : Dalam dinamika kehidupan sosial anak muda masa kini, muncul fenomena perbedaan nilai dan sudut pandang antara mereka yang menempuh pendidikan tinggi (kuliah) dan mereka yang tidak. Perbedaan ini tidak hanya mencerminkan pilihan hidup, namun berkembang menjadi isu budaya yang melibatkan identitas, status sosial, dan cara memandang kesuksesan. Fenomena ini marak terlihat di media sosial dan ruang publik. Komentar-komentar seperti "Kuliah tinggi-tinggi cuma jadi beban orang tua" atau "Makanya sekolah dulu biar gak begini" menjadi bukti bahwa ada ketegangan sosial yang nyata. Kesenjangan karir antara anak yang kuliah dan tidak kuliah menciptakan semacam stratifikasi sosial informal. Masing-masing pihak merasa perlu membuktikan bahwa pilihan hidupnya lebih tepat, dan sayangnya hal ini sering disertai dengan sikap merendahkan pihak satu sama lain.

Alhasil, dari konflik sosial ini memunculkan beberapa dampak negatif  antara lain :


1.Stereotip dan stigma yang melekat pada kelompok tertentu.
2.Rendahnya empati dan pengertian antar kelompok muda.
3.Tekanan psikologis pada individu yang merasa tidak diakui atau tidak dihargai jalurnya.
4.Hilangnya semangat kolaborasi, karena yang muncul adalah rasa kompetisi dan perbandingan yang tidak sehat.


Disamping itu, dalam Analisis Teori Konseling Multibudaya (Sue & Sue, 2016), perbedaan latar belakang seperti pendidikan, kelas sosial, ekonomi, dan budaya sangat memengaruhi cara seseorang memahami diri dan orang lain. Konflik antara anak kuliah dan yang tidak kuliah dapat dipahami sebagai konflik lintas budaya dalam skala mikro, yaitu antara dua sub kelompok masyarakat dengan nilai kedudukan sosial yang berbeda.
Teori ini mengajarkan pentingnya:

  • Kesadaran diri budaya (cultural self-awareness), agar seseorang menyadari bahwa nilai yang dipegangnya bukan satu-satunya yang benar.
  • Penghargaan terhadap perbedaan (respect for differences), di mana perbedaan jalan hidup tidak dilihat sebagai ancaman, tetapi kekayaan perspektif.
  • Kompetensi lintas budaya (multicultural competence), yaitu kemampuan berinteraksi tanpa prasangka terhadap mereka yang memiliki latar belakang berbeda. 

Solusi Praktis

a.Solusi permasalahan dengan perspektif teori konseling multibudaya

Dengan menggunakan pendekatan konseling multibudaya, solusi dapat diarahkan pada tiga pilar utama:

1.Edukasi nilai inklusif: Melalui kurikulum sekolah dan media publik, penting untuk menanamkan pemahaman bahwa sukses tidak selalu berbentuk akademik.

2.Pembangunan empati lintas kelompok: Mendorong dialog terbuka dan reflektif antar kelompok dengan latar berbeda untuk mengurangi stereotip.

3.Penerimaan terhadap keberagaman jalur hidup: Konselor, guru, dan tokoh masyarakat harus menjadi agen perubahan dengan mencontohkan penerimaan dan tidak menyebarkan narasi saling merendahkan.

b.Cara penerapan

1.Di sekolah dan kampus: Integrasi pendidikan karakter dan toleransi berbasis multikultural dalam kegiatan belajar mengajar.

2.Di media sosial: Kampanye digital dengan narasi "semua jalan bisa sukses" dan menampilkan kisah nyata dari kedua jalur (kuliah dan tidak kuliah).

3.Di komunitas: Membuat forum komunitas anak muda lintas latar belakang untuk saling berbagi pengalaman dan membuka perspektif baru.

Kesimpulan dan Harapan :

Kesenjangan karir antara anak kuliah dan tidak kuliah bukan hanya masalah ekonomi atau pendidikan, tapi juga masalah budaya dan persepsi sosial. Dengan memahami pendekatan konseling multibudaya, kita bisa melihat akar masalahnya dan mencari solusi yang berbasis pada penghargaan terhadap perbedaan dan pembangunan empati. Solusinya bukan memilih siapa yang lebih benar, tapi bagaimana kita saling memahami dan mendukung pilihan hidup masing-masing.

Diharapkan generasi muda Indonesia bisa lebih bijak dalam menyikapi perbedaan jalur hidup. Daripada saling menjatuhkan, mari saling menguatkan. Karena pada akhirnya, bukan soal siapa yang lebih tinggi pendidikannya, tapi siapa yang lebih bijak menyikapi perbedaan dan tetap rendah hati dalam perjalanan hidupnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun