"Jika aku kemarau, engkau ingin jadi apa?"
Aku masih ingat kalimat itu. Bahkan sangat. Dia pernah mengucapkannya saat malam dingin, benar-benar dingin, yang romantis. Tapi, apakah kalimat yang keluar dari mulutnya itu mengandung unsur romantis?
Hingga kini, lima tahun setelah dia ucapkan kalimat itu,aku tidak merasakan adanya keromantisan. Sebaliknya, di sana hanya ada kegelisahan. Tentang waktu, keadaan dan masa depan.
Dia tahu, aku tak pernah bisa menjawab pertnyaannya itu. Semuanya menjadi abu-abu. Tanpa sudut dan abstrak. Mungkin aku sedang meracau, tentang takdir yang enggan berpihak, tentang perjalanan yang tak pernah usai dan (mungkin) tentang kemarau yang tak pernah akur dengan penghujan. Entahlah...