Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

THR, Tekanan Hari Raya

24 Juni 2016   10:43 Diperbarui: 24 Juni 2016   14:07 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
How to Budget - ilustrasi: magnifymoney.com

Ada gegap gempita dompet menyambut rombongan uang THR. Ya, Tunjangan Hari Raya sudah menjadi budaya korporasi di negri ini. Legislasi hitam diatas putih pun jelas tertera. Tiap perusahaan wajib memberikan THR untuk karyawannya. Mulai dari sekelas Dirut sampai Office Boy, wajib mendapat bonus berupa THR. Intinya secara moral, pemerintah dalam UU seperti ini hendak menggembirakan rakyat pada umumnya. Mungkin serupa Bantuan Langsung Tunai (BLT). Namun ruang lingkupnya lebih general dan longitudinal. THR untuk semua pekerja dan setiap tahun wajib ada. Para pekerja pun menyambut gembira.

Berbondong-bondong pekerja mencoba menggembirakan Ramadhan dengan THR yang diberikan. Seperti sebuah tren, membeli barang dan jasa menjadi katarsisnya. Uang yang lumayan banyak kalau bisa dibuat belanja. Karena toh kapan lagi bisa membeli dengan cara berlebih. Keluarga pun akan merasa gembira. Karena kebanyakan orang lain gembira dengan lebih banyak mengeluarkan uang. 

Mulai H-7 menjelang Lebaran, tekanan penerima THR tentunya makin besar. Bukankah seharusnya penerima THR bergembira? Jika ditelisik dari sudut pandang yang kadang tertutupi euforia konsumsi, THR memberi tekanan tersendiri. Jauh sebelum menerima THR, ada 'bisikan gaib'. Istri meminta baju gamis yang sedang in dipakai selebritis. Anak berjanji puasa 30 hari dengan imbalan perhari 50 ribu. Belum baju Lebaran mereka. Orangtua mana yang mau anaknya dilihat tanpa baju baru. Bukan karena gengsi semata kadang. Entah mengapa karena sudah menjadi budaya.

Tekanan untuk mengkonsumsi lebih banyak saat puasa pun terbersit dalam fikiran. Kadang lauk dan makanan di meja makan saat puasa lebih wah dan enak dari bulan lainnya. Belum lagi 'kewajiban' menghiasi meja ruang tamu dengan snack dan pernak-pernik Ramadhan. Tidak lazim rasanya menerima tamu hanya disuguhi air putih seusai salat Ied nanti. Belum lagi makanan saat Lebaran nanti tentunya harus spesial. Menghabiskan momen Lebaran dengan masa cuma makan nasi goreng? Belum lagi basa-basi menawari makan tamu yang datang. Tidak semua tamu akan juga basa-basi menolak.

Mendekati Lebaran pun, angpao Lebaran untuk keponakan, anak tetangga sampai anak saudara jauh sudah harus dihitung. Tidak mungkin jumlahnya bisa terhitung jari. Pastinya akan lebih. Dan akan lebih tidak enak hati jika isinya cuma 3 lembar Rp. 1000. Anak sekarang jajanannya mahal. Mereka tahunya AlfamaDan mungkin agak ewuh jika ada tetangga atau saudara yang tahu anaknya diberi Rp. 3000 saja. Sedang mereka memberi 2 lembar Rp. 5000. Angpao Lebaran ini masuk kategori khusus dalam pembagian THR.

Dan mungkin yang akan memakan porsi lebih besar THR adalah anggaran mudik. Tabungan yang sudah setahun lalu dikumpulkan lebih banyak terpakai pengeluaran tidak terduga. Uang THR pun menjadi penambalnya. Menyewa mobil selama 2 minggu tentu akan menghabiskan jutaan rupiah. Atau memesan tiket pesawat atau kereta PP tentu tidak sedikit uang dihabiskan. Belum tetek-bengek saat di kampung nanti. Berbelanja keperluan dapur di rumah orangtua atau mertua ditanggung bersama. Dan saat di kampung, rumah disana harus disetarakan isinya dengan rumah milik sendiri. Belum lagi angpao untuk sanak saudara saat mudik.

Yang disebut 'Tunjangan' dalam abreviasi THR benar adanya. Ia disebut 'tunjangan' karena harus menahan tekanan yang akan hadir saat Hari Raya. Namun salah makna dalam tiap fikir pekerja, THR adalah bonus. Jika ditelisik esensinya, THR tak lain adalah pelumas. Ia melicinkan tiap gerak dan daya kita memenuhi kebutuhan Hari Raya yang banyak. Jika THR tidak ada atau tidak diberikan, mesin (baca: pekera) akan overhaul, remuk redam. Gaji sebulan tidak akan cukup mengantisipasi pengeluaran yang berlebih. Maka THR pun diberikan. 

Dan pintar-pintarnya pekerja mensiasati kebutuhan yang kian banyak saat Hari Raya. Jika baik dan terencana dengan tidak terkesan pelit dan irit, THR memberikan nominal lebih dalam tabungan. Namun jika pola konsumtif terus dituruti demi mengejar gengsi dan 'budaya' Lebaran, THR tidak berbeda dari gaji bulanan yang habis juga. 

Salam,

Solo, 24 Juni 2016

10:43 am

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun