Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sampai Kapan Hukum Indonesia Mengecewakan Kita?

3 September 2014   05:58 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:46 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(foto: montrealgazette.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="372" caption="(foto: montrealgazette.com)"][/caption] Sudah menjadi tangis yang mengering, meratapi mlempemnya hukum di Indonesia. Supremasi hukum diatas segalanya terkesan ditindas praktik laten dibelakang meja hakim. Hukum bisa disumpal dengan sejumlah uang. Hukum bisa diotomasisasi sesuai keinginan pejabat dan cukong berkuasa. Kepastian hukum dan hukuman serasa hambar jika persidangan sudah diulur kesana-kemari. Persidangan yang semakin lama dan rumit tidak semata menumpuk bukti memberatkan hukuman. Yang terjadi, hanya utak-atik masa tahanan dan memperlama intervensi laten para mafia di belakang meja hakim. Sudah cukup lama publik menanti, sampai kapan hukum bisa benar-benar tegak. Butakan saja hukum. Sehingga ia tidak akan tebang pilih siapa yang harus dijatuhi hukuman. Seorang nenek mencuri batang pohon sepele saja dihukum tahunan. Sedang koruptor berkedok pejabat negara, dihukum sangat remeh. Sedang dinasti dan sistem korup mereka terus berjalan. Sedang sang nenek meringkuk sedih merasakan hukum sebenarnya. Hukum rupanya masih melek di negara ini. Hukum bisa melihat dan memilih siapa yang akan dijatuhi hukuman. Hukum seolah sungkan jika memberikan ketok hukuman terberat di depan para aparatur negara. Sedang, buat rakyat hukum seolah merasa jumawa. Hukuman terberat adalah contoh bagi rakyat agar tidak mengulang lagi tindak kejahatan. Karena yang kita harap hukuman kejahatan luar biasa harusnya luar biasa. Faktanya, hukuman sudah menjadi kebiasaan. Kebiasaan hukuman ringan dan sepele untuk para koruptor. Koruptor seolah tertawa dalam hati saat persidangan. Karena kroni dan dinasti korup mereka telah dengan lantang menggedor pintu hukum. Memaksa dan menodong hukum untuk bisa santun di depan para koruptor. Di ruang sidang memang tidak terjadi apa-apa. Namun dalam pandangan sang tersangka koruptor. Mereka sedang menodong moncong senjata ke kepala para hakim. Jika ada yang macam-macam, tinggal tarik pelatuk. Sang penghukum tamat. Seolah yang diinginkan hukum adalah kita merasa paling benar. Hanya merasa paling suci, di negri ini. Kepastian benar itu hanya wacana semata. Seolah kita merasa senang jika seorang koruptor tertangkap. Setelah dalam persidangan, yang dinanti pastinya kekecewaan. Hukum sekadar memamerkan bisa menangkap, namun tidak menghukum. Kepastian hukum adalah kepastian akan kekecewaan pada hukum itu sendiri di negri ini. Akankah pemerintahan baru bisa benar-benar memberi ranah yudikatif kekuatannya kembali. Membutakan hukum dan mengembalikannya kepada supremasi tertinggi. Memberinya arah dan membuatkannya kuasa tertinggi atas hajat hidup negara ini. Saat ranah legislatif sudah terlalu kotor dipenuhi tikus-tikus koruptor. Saat ranah eksekutif sudah dipusingkan dengan latennya kepentingan Parpol. Ranah yudikatif seolah terpenjara ditangan banyak oknum. Menjadi bancakan para oknum. Oknum yang berkuasa dan berpengaruh. Oknum yang memiliki uang dan modal. Dan oknum yang menggadai negri ini demi nafsu berkuasa. Sudah, butakan saja si hukum kembali. Harapan saya untuk pemerintahan baru. Salam, Solo, 2 September 2014 10:52 pm


Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun