Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Minimnya Pengayoman Kampus Pada Mahasiswa

28 Februari 2014   15:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:23 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi: johnlund.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="550" caption="(ilustrasi: johnlund.com)"][/caption] Mahasiswa sebagai seorang civitas akademia kini sudah semakin mudah tersulut emosinya. Banyak sudah berita yang mengabarkan tentang bentrok antar fakultas. Demonstrasi damai yang malah berubah anarkis. Penolakan dengan aksi damai yang cenderung diopresi pihak kampus. Belum lagi tindak kejahatan dan asusila para civitas akademia ini. Yang sejatinya, tidak mencerminkan seorang pelajar atau siswa yang sudah cukup cerdas dan dewasa dalam bersikap. Namun ini pun bukan sepenuhnya salah mahasiswa itu sendiri. Faktor kedewasaan dalam bertindak dan cerdas dalam menyampaikan ekspresi, tidak semua mahasiswa memilikinya. Entah karena faktor pendidikan orang tua yang lemah atau sistem pendidikan kita yan cenderung timpang kepada pemenuhan sisi kognisi. Sisi afektif atau humanis seorang anak manusia yang nantinya menjadi manusia dewasa seperti mahasiswa, kurang diasah dan diasuh. Maka muncullah individu yang ganas dan kurang berempati dan toleran dalam kehidupan bermasyarakat. Mahasiswa mampu berfikir mencari solusi, namun kurang bisa mengontrol emosi dan gejolak jiwa muda dan perkasa yang saat ini mereka miliki. Pihak-Pihak Kampus Yang Cenderung Cuek Kampus dengan segala sistem dan staff terkait yang menjadi tempat mereka menuntut ilmu kadang cukup cuek dengan mahasiswa. Mahasiswa dijadikan kantung uang belaka. Segala biaya, mulai dari SPP sampai tetek bengek persiapan sidang skripsi adalah fokus dari kampus semata. Belum lagi pihak rektorat, dekanat  maupun tingkat dosen yang sepertinya angkuh dan birokratif dalam hal pemenuhan hak mahasiswa untuk berkembang. Mahasiswa bukan dirangkul sebagai mitra pengembang kemajua kampus, namun malah dijaga agar terus patuh. Mahasiswa dijadikan objek, bukan individu dewasa dan berfikir. Kewajiban Pembantu/Wakil Rektor (WR), sampai Pembantu/Wakil Dekan (WD) yang mengurusi Kemahasiswaan hanyalah administratif belaka. Di tempat saya mengajar, WR atau WD sepertinya hanya bersifat mengatur dan mengrahkan. Mereka tidak merangkul dan bekerja sama dalam hal memajukan kampus. Para pejabat ini lebih cenderung menjaga jarak dengan mahasiswa. Segala urusan UKM dan Kemahasiswaaan hanya bersifat rutinitas. Segala bentuk program kerja dan laporan menyoal kepengurusan dibiarkan atau dilepas kepada mahasiswa. Tanpa perlu mengayomi secara rutin. Atau bahkan mengunjungi mereka atau sekadar berdiskusi terhadap problema kampus yang ada, pihak Rektorat dan Dekanat seperti masa bodo dengan kegiatan keorganisasian mahasiswa. Belum lagi kegiatan keilmuan dan pengabdian masyarakat mahasiswa yang selalu terbentur dinding angkuh birokrasi. Pernah suatu ketika, ada kelompok debat Bahasa Inggris mahasiswa saya yang diping-pong menyoal biaya pemberangkatan mereka ke Jakarta. Pihak Rektorat yang membidangi Kemahasiswaan mensentralisasi semua anggaran kemahasiswaan di pusat. Namun, saat mahasiswa mengajukan anggaran dan proposal kegiatan Debat Bahasa Inggris mereka, pihak Kemahasiswaan Rektorat malah meminta mereka meminta anggaran ke Program Studi (Prodi) atau Dekanat. Pihak Prodi dan Dekanat tidak memiliki pos anggaran, karena semua kegiatan kemahasiswaan tersentral, kog malah meminta dana ke Prodi atau Dekanat. Sialnya, akhirnya mereka menyerah dan tidak jadi mengikuti lomba Debat tersebut. Belum lagi dosen-dosen yang merasa cukup dengan mengajar dan ceramah di kelas, lepas tanggung jawab mereka sebagai pendidik. Dosen merasa tidak perlu menjadi pendamping mahasiswa diluar kegitan belajar mengajar. Toh sudah ada yang mengurusi, menurut fikir saya. Walau tidak serta merta harus selalu mengawasi kegiatan kemahasiswaan, untuk tahu dan perduli saja, kadang dosen malas. Kegiatan mahasiswa biar saja apa adanya. Keikutsertaan adalah urusan yang tak pernah terfikir dalam kamus dosen. Mereka sudah cukup lelah hanya untuk sekadar tahu dan perduli. Walau sesungguhnya, perhatian dosen yang setiap hari bertemu terhadap kegiatan kemahasiswaan adalah seumpama perhatian orang tua. Dosen-dosen itu tua dalam hal usia, namun tidak sebijak fikir mereka akan figur orang tua. Dosen bisa sekadar menengok kegiatan pameran atau lomba mading mahasiswa di sekitaran kampus, bisa menjadi dorongan motivasi yang inspiratif buat mahasiswa. Bahkan undangan menonton pagelaran drama mahasiswa pun, kadang cuma tergeletak tak terbuka di meja dosen. Coba kalau bisa hadir, alangkah bangganya mereka bisa disaksikan dosen-dosen mereka sendiri. Belum lagi tindak demonstrasi anarkis dan asusila yang kadang luput dari perhatian pihak kampus. Tindakan yang dilakukan hanyalah sekadar tidak kuratif (mengobati atau meredakan), bukan preventif (mencegah). Mahasiswa mendemo meminta kejelasan SPP yang naik, bukan hanya sekadar menghalangi atau membubarkan demo mereka. Sebelum kebijakan SPP naik, perlu kiranya melibatkan mahasiswa sebagai objek penderita atas kenaikan SPP. Pihak Rektorat dan Dekanat yang membawahi Kemahasiswaan hendaknya bisa mensosialisasikan den berdiskusi langsung sebelum kenaikan terjadi. Pelibatan mahasiswa terhadap kebijakan yang akan melibatkan mahasiswa di dalamnya, kiranya perlu digunakan. Kegiatan asusila atau kriminalitas dikampus tidak semata-mata bisa diatasi dengan memasang CCT disetiap sudut kampus. Berilah mahasiswa ruang untuk berkarya dan berolahraga. Penyediaan sarana olah raga dan gedung kesenian, kiranya mampu menjadikan mereka sibuk berkarya dan menyalurkan hobi. Sehingga tidak membuat fokus mereka kepada tindak asusila atau kriminal. Berikan mahasiswa ruang dan kesempatan yang cukup dalam waktu senggang mereka kuliah. Karena mahasiswa mau dan mampu berkembang, jika pihak terkait perduli dan menyediakan waktu dan tempat yang memadai. Intinya, peran pihak-pihak kampus dalam mengayomi mahasiswa semakin kurang. Semua sibuk dan merasa tidak cukup waktu mengurusi dan mendidik mahasiswa. Semua akhirnya saling lempar tanggung jawab setelah kejadian anarki atau asusila atau kriminalitas terjadi. Tindakan kuratif yang terus dilakukan hanya mengobati sementara saja. Tindakan prefentif dengan mengayomi dan turut serta kiranya lebih tepat. Figu orang tua yang bijak dibutuhkan mahasiswa saat mereka berorganisasi dan lepas jam belajar. Salam, Solo, 28 Februari 2014 08:46 am

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun