Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pemerintah yang Takut Medsos

3 Maret 2023   22:48 Diperbarui: 3 Maret 2023   22:51 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Media sosial atau medsos telah menjadi ajang bebas demokrasi. Saking bebasnya, antara moderasi platform dan surveilans negara tumpang tindih. Penyedia platform sering menyerah dengan lanskap politik budaya user masing-masing negara. Tapi negara berusaha dengan gigih meluncurkan propaganda komputasional demi pengaruh.

Moderasi platform cenderung dipukul rata dengan Community Guideline. Model ini kelimpungan dihadapkan pada kultur politik berbeda tiap negara. Isu politik identitas antar negara pengguna medsos sudah berbeda. Negara dengan isu identitas berbasis warna kulit jelas beda penanganan dengan 'pribumi' vs pengungsi.

Medsos menjadi ajang bebas mempengaruhi diskursus sosial. Secara bersamaan, medsos membangun modal sosial. Sebuah konsep yang menyatukan tujuan dan gerak netizen. Diskursus yang cenderung beroposisi dengan pemerintah. Yang juga menjadi ketakutan negara atas medsos dan netizennya.

Ajang bebas tanpa batasan berarti di medsos membuktikan dampaknya. Tagar di Twitter bertema Tahrir Square di Mesir tahun 2011 mendompleng kuasa Husni Mubarak. Tahun 2016, campur tangan Cambridge Analytica di Facebook demi kepentingan pemenangan Trump juga jadi bukti lain. 

Di sisi lain medsos juga membantu meraih tampuk kuasa tertinggi. Bong Bong Marcos gencar berkampanye via Tik Tok hingga meraih kembali kuasa di tahun 2022. Presiden Jokowi pun berkat kampanye di medsos sejak jadi Walikota Solo tahun 2014 mampu menjadi Gubernur DKI sampai Presiden. Mantan Presiden Barrack Obama mungkin bisa menjadi pioneer dalam kancah di medsos.

Namun, perjalanan seorang pemimpin negara tidak sendirian dan usai setelah terpilih. Medsos masih menjadi ancaman berarti hegemoni kuasa. Sehingga penting untuk terus menampilkan citra, kerja, dan kinerja pemerintah. Tidak hanya satu atau dua kali. Yang terjadi saat ini adalah cara sporadis dan nir-empati.

Tiap trending dan apapun informasi viral harus dibuntuti dengan nuansa penguasa. Diposting setiap jam oleh akun dengan menampilkan foto senyum dan memberikan donasi. Atau dengan menampilkan akun dengan atribusi yang penuh rasa nasionalisme. Akun ini tidak hanya ratusan, bisa jadi ratusan.

Akun-akun yang dikendalikan dan dibuat secara masif. Dikelola baik dengan mesin maupun manusia yang memiliki akun 'nganggur'. Semua diberikan imbalan yang tak seberapa. Buzzer menjadi istilah tepat pendukung narasi pemerintahan. Sebuah kelompok yang begitu nyata namun samar dibalik operasinya yang TSM.

Buzzer dibalik akun bisa bermain dengan beragam mode. Baik dengan terang-terangan mencari engagement dengan menampilkan penguasa dan afiliasinya. Juga dengan menutupi kasus yang merugikan pemerintah dengan membom trending dengan kasus lain. Atau cara mengadu domba buzzer itu sendiri agar publik percaya ada hal buruk yang mesti dilawan bersama.

Dengungan ini bertujuan menciptakan ruang gema (echo chamber). Dimana netizen yang terpengaruh narasi penguasa secara sukarela mengkonsumsi informasi searah dari para buzzer. Karena terstruktur, sistematis dan masif (TSM), kadang hilang nalar. Pengikut para buzzer merasa narasi yang didukung banyak akunlah yang benar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun