Flexing juga bisa dimaknai sebagai motivasi. Misalnya karena perjuangan seseorang dari nol, sehingga kaya raya saat ini. Kemudian memberikan tips dan trik untuk menjadi seperti dirinya. Juga tidak salah. Namun makin fokus dari attention economy via flexing lebih difokuskan untuk pencitraan sampai penipuan.
Bagi users medsos lain, postingan flexing akan sulit dihindari. Karena bisa jadi konten flexing seseorang dimanipulasi untuk trending dengan bot. Atau memang ada user lain yang membawa konten flexing ke linimasa kita. Dengan mengacuhkannya menjadi kunci. Perhatian pada konten flexing adalah prioritas bukan suatu entitas organik atau alami.
Bersyukur juga menjadi benteng awal diri sendiri pada konten flexing menyesatkan. Walau ada yang bertujuan untuk memotivasi orang lain, tidak semua orang akan memaknai demikian. Dan tidak semua orang yang flexing juga ingin memotivasi orang lain. Bersyukur perhatian kita tidak terdistraksi menjadi jalan terhindar dari flexing tidak baik.Â
Bagi pelaku flexing, perhatian pun menjadi candu. Penurunan jumlah like, share, dan komentar berarti ada yang tidak beres. Bisa karena kurang mahal barang yang ditampilkan.Â
Selalu ada tuntutan dan tantangan tak usai agar perhatian users lain tidak turun. Frustasi bisa dihadapi jika minim perhatian terus terjadi.
Konten dari users (user generated content) begitu berlimpah. Namun mendapatkan perhatian menjadi sangat langka. Saking langkanya, banyak yang flexing dengan harta yang tidak ia punya. Mengobral etika dan privasi demi like, comment, dan share. Atau menabrak norma dan aturan demi konten viral.
Salam
Yogyakarta, 23 Januari 2023
11:11 pm
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI
