Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Saya Online, Maka Saya Hidup

13 Januari 2023   23:51 Diperbarui: 13 Januari 2023   23:58 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Social Media oleh Magnus Mueller (pexels.com)

Mungkin Anda sering menemui hal-hal berikut. Seorang rekan tidak pernah membalas chat WhatsApp. Punya teman baik di Facebook tapi tidak pernah sekali pun posting. Sering stalking akun Twitter mantan tapi terakhir nge-tweet 2 tahun lalu.

Dan ketika teman tadi membalas chat kita di WhatsApp. Teman baik tetiba posting fotonya saat liburan di Raja Ampat di Facebook. Dan muncul notifikasi Twitter, kalau mantan mencuitkan satu kata 'halo'.

Seketika kita pun akan membalas chat, memberi komentar, dan menggumam dalam hati. Kemana aja? Walau secara sekelabat dalam hati terbersit sangat subtil dan berucap di kepala. Masih hidup kamu?

Semakin terkoneksi kehidupan kita dengan dunia teknologi, semakin lesap diri seseorang. Eksistensi manusia diukur dari seringnya frekuensi mereka berinteraksi secara digital. Hal ini belumlah menjadi konvensi secara sosial. Tapi secara halus membisik dan menetapkan konsepnya ke dalam eksistensi kita.

Tidak online berarti tidak lagi dianggap berada atau mengada. Eksistensi manusia digital pun ditera dari tanda online di WhatsApp, postingan di Facebook, dan tweet random setiap hari. Sehingga esensi jarak dan waktu kian subliminal, atau bahkan superfisial di dunia siber. 

Badan wadag atau fisik tidak lagi menjadi parameter keberadaan di dunia digital. Foto sudah mewakili penampakan secara fisik. Video mewakili gesture dan mimik seseorang. File audio menjadi pelengkap dari kehadiran secara online. Semakin sering frekuensi foto, video, dan audio ini dilihat maka inilah eksistensi. I post, therefore I exist.

Bertemu face-to-face adalah 'keajaiban' semu. Senang sekali bisa bertemu teman yang tak pernah balas chat WhatsApp. Lepas rasa rindu pada teman baik yang tak pernah posting di Facebook. Dan haru biru hati bertemu langsung dan ngopi bareng mantan setelah lama stalking Twitter-nya.

Semuanya semu. Karena saat duduk dan sekadar basa-basi ngborol. Sesaat smartphone mereka ada di tangan. Mereka sudah menjauhkan diri mereka dari orang di hadapan. Mereka kembali ke dunia digital. 

Mereka akan melakukan hal ini. Sibuk membuat status WhatsApp menyinggung si yang paling-ga-pernah-bales-chat. Memfoto semua sudut dan pose bersama teman baik untuk di-post di Facebook. Membuat thread pengalaman mengasyikan bertemu lagi mantan, tanpa diduga.

Sembari obrolan jadi hambar, tengak-tengok ke smartphone terlihat. Mata pun melirik notifikasi yang otomatis terjadi. Pikiran pun melayang menunggu like, comment, share, heart, RT, dsb. Kehadiran fisik menjadi konsep belaka. Mengada perilaku, gesture, dan pikiran ke dunia digital menjadi bagian besar pertemuan langsung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun