Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pada Setiap Tragedi yang Diiringi Misinformasi

26 Februari 2022   11:13 Diperbarui: 26 Februari 2022   20:23 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Raaf Hornets - oleh Robert Waghorn (pixabay.com)

Dunia sepatutnya terenyuh atas invasi Rusia ke Ukraina beberapa hari lalu. Sejak tahun lalu pun, invasi Arab Saudi ke Yaman luput dari banyak media arus utama. Belum lagi tragedi genosida di Myanmar yang sangat memilukan kita semua. Dari semua tragedi ini, misinformasi turut menyertai. 

Sosial media dengan ribuan limpahan informasi membuat tragedi kian sulit terverifikasi. Mulai dari tragedi beredarnya telur palsu sampai video jet Ukraina menembak jatuh 5 jet Rusia, membingungkan semua. Misinformasi jelas tidak terkendali. Tapi bukan berarti tidak bisa diatasi.

Misinformasi merupakan bagian dari kekacauan informasi di dunia digital saat ini. Selain misinformasi juga ada disinformasi dan malinformasi. Namun banyak dari kita yang mengenal ketiga jenis kekacauan informasi ini sebagai hoaks.

Misinformasi secara definisi adalah informasi salah yang secara tidak sengaja tersebar. Penyebarnya pun kadang tidak tahu kalau yang dibagikan salah. Penyebaran ini terjadi karena faktor viralitas suatu kejadian dan minimnya literasi digital dan media. Faktor kecakapan digital generasi antara native vs migrants juga memperumitnya.

Ada pula disinformasi yang merupakan manipulasi dan bertujuan menyesatkan. Disinformasi sengaja dibuat dan dibagikan untuk mendeskreditkan, mengubur isu, sampai menyulut konflik Penyebarannya pun tak jarang sistematis dan masif. Sudah barang tentu ada dukungan finansial dan SDM dibaliknya.

Sedang informasi yang berisi setengah fakta dan reka-reka bisa disebut malinformasi. Gosip dan rumor bisa masuk ke dalam malinformasi. Karena informasi macam ini sering dianggap fakta yang dibubuhi banyak sensasi dan penekanan fokus yang tidak perlu.

Sebagai mahluk sosial, setiap kita ingin menjadi penyelamat orang lain bukan. Seperti waspada terjebak telur palsu. Hati-hati dengan chemtrail penyebar virus. Sampai mewaspadai modus penculikan anak yang terus terulang. 

Yang sayangnya semua ternyata berita bohong. Pesannya jelas agar kita berhati-hati. Tapi secara substantif sangat menyesatkan. Tidak salah kalau kita waspada. Tapi jika sampai merugikan atau memfitnah orang lain tentu berbahaya. Contohnya persekusi akibat dituduh penculik anak  di Lampung.

Ada beberapa cara menemukan fakta atas tragedi. Pertama, bersabar menunggu informasi lain. Karena tergesa dan ingin menjadi yang pertama men-share mengaburkan logika. Tunggu dan pastikan jika sebuah tragedi menjadi kunci kita berbagi informasi valid.

Cara kedua adalah mencari informasi tandingan. Tidak sulit mencari kata kunci (keyword) di platform medsos dan Google, misalnya. Jika pun kata kunci tidak juga ditemukan, bertanyalah ke situs periksa fakta seperti Mafindo dan cekfakta.com.

Dan cara terakhir adalah cek fakta mandiri. Tragedi terkini di suatu daerah bisa saja diiringi hoaks yang sudah muncul berkali di daerah lain. Gunakan Google Reverse image untuk mengecek apakah sebuah foto sudah pernah digunakan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun