Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

WhatsApp yang Mengajarkan Kita Bersikap Apatis dan Asimpatik

12 Februari 2020   19:18 Diperbarui: 13 Februari 2020   11:39 4419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mannequin - Foto: pixabay.com

Limpahan informasi yang kita dapat dari beragam aplikasi, membuat kita jengah. Jika tidak ada teman dalam WAG yang me-mention kita. Jika tidak ada japri dari orang yang kita hormati atau sayangi. Kita urung berinteraksi dengan membalas, membaca, atau bahkan membukanya.

Asimpatik menjadi 'kembar siam' apatis di atas. Kita menjadi cuek dan kadang tidak peduli. Bukan berarti sikap ini menjadi sebuah generalisasi atau pukul rata pengguna WA. Namun, beberapa aspek membuat kita menjadi atau setidaknya mendekati sikap asimpatik.

Catatan Awal Brian Acton untuk WhatsApp yang Ditujukan ke Jan Koum - Foto: nextshark.com
Catatan Awal Brian Acton untuk WhatsApp yang Ditujukan ke Jan Koum - Foto: nextshark.com

Seperti fitur WA yang memungkinkan dua tanda centang tidak berubah biru. Karena dua centang biru berarti pesan kita sudah dibaca. Fitur ini hanya memunculkan dua centang abu-abu. Yang berarti pesan sudah diterima dan belum dibaca. Walaupun orang yang kita chat sedang ngobrol di WAG yang kita tahu, misalnya.

Ada contoh lebih ekstrim lagi. Ada aplikasi mod (modifier) yang memungkinkan pesan yang kita baca tetap satu centang abu-abu. Dengan kata lain, jika orang yang menggunakan app mod macam ini. Chat yang kita kirim akan menunjukkan centang satu abu-abu selama apapun. 

Dengan kata lain, ia tidak menerima chat kita. Dengan asumsi yang kita pahami, ia berada di luar jangkauan internet/ponsel dalam flight mode. Kadang alibi yang digunakan adalah demi privasi.

Ketika chat yang kita kirim begitu penting, mendesak, atau personal. Mendapati satu centang atau dua centang abu-abu cukup mengecewakan bukan. Karena mindset kita begitu lekat (hardwired) pada teknologi. Kita pun menjadi begitu resah dan gelisah menanti balasan chat WA.

Tindakan apatis dan asimpatik di WA ini tidak berarti mencerminkan sikap dan kepribadian kita di dunia nyata. Bisa jadi, karena terlalu banyak kontak dan WAG yang berkerumun di ponsel. Pilihan menjadi apatis dan asimpatik menjadi prioritas.

Karena WA pun memiliki konsekuensi logis dan psikologis yang tidak kita tahu. Seperti kita merasa bekerja 24 jam selama 7 hari via WAG tempat kita bekerja. Kita menjadi lelah memantau atau menanggapi isu politik yang tiada habis di WAG atau japri. Atau kita sudah merasakan tech blues. 

Ada kebutuhan mendesak kita untuk tidak terlalu lama ngobrol chat via WA. Bertemu muka atau kopi darat menjadi aktivitas yang kian penting, walau kini langka. Atau kita alihkan fokus dan aktivitas di sosmed dengan melakukan kegiatan fisik.

Saat WA mempersempit jarak dan waktu dalam berkomunikasi. Dampak terselubung dari dislokasi kita dengan orang lain adalah sikap apatis dan asimpatik. Teknologi memang mendekatkan yang jauh. Namun secara bersamaan menjauhkan kedekatan emosional dan personal.

Salam,

Wonogiri, 12 Februari 2020
07:16 pm

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun