Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

2020, Tahun yang Murung Bagi Teknologi

10 Januari 2020   09:22 Diperbarui: 10 Januari 2020   11:25 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Macbook oleh free-photos - Foto: pixabay.com

Inovasi teknologi tak dapat disangkal semakin maju. Neuralink karya Elon Musk cukup membuat kita terkagum. Bagaimana otak kita bisa tersambung perangkat elektronik. Atau rekayasa genetis via CRISPR yang mengejutkan. Di masa depan, akan ada bayi yang lahir tanpa perlu imunisasi.

Di lingkungan sekitar, kita akan menemui mobil otonom. Drone yang bisa mengantar barang kita langsung di depan pintu. Atau kulkas, vacuum cleaners, sampai kamera CCTV yang tersambung perangkat AI. Kemajuan teknologi pesat. Namun sekaligus menakutkan.

Di tahun 2020, dengan lebiih dari 3 dasawarsa internet berada dalam genggaman kita. Apa yang ditawarkan teknologi bukan lagi inovasi. Tetapi begitu banyak persoalan pelik yang mengikuti.

Seperti terakumulasi sejak lama, beberapa isu berikut akan meledak dalam waktu dekat. 

Pertama, kebocoran data pengguna. Kebocoran data users yang kian ramai patut menjadi perhatian. Tidak saja pemerintah. Tapi publik dan korporasi teknologi. Kebocoran data pengguna bukan hanya merugikan pribadi, namun korporasi sampai pemerintah.

Contoh seperti kasus besar Cambridge Analytica yang terjadi medio 2015 lalu. Bagaimana dengan gim sederhana via Facebook, 80 juta users dipetakan dan di-profiling identitasnya. Sehingga dieksploitasi guna kepentingan politik pada kampanye Trump di 2016.

Di Indonesia, kebocoran data users malah dianggap "normal". Data Dukcapil berupa nomor KK dan KTP elektronik diperjualbelikan bebas via sosmed beberapa waktu lalu. Bahkan data Dukcapil pun kabarnya dapat diakses perusahaan swasta atas nama pencegahan penipuan. Walaupun aturan akan akses ini belum pasti.

Kedua, isu privasi yang kian seksi. Tapi banyak yang tidak peduli. Mendefinisikan privasi untuk konteks Indonesia memang cukup rumit. Karena jiwa sosial dan komunal kita begitu tinggi. Kehidupan di sosmed seolah tanpa batas pasti. Pengguna tidak peduli mana hal pribadi yang harus di-share dan mana yang seharusnya tidak dibagikan.

Sedang di belahan bumi Barat berbeda. Banyak yang resah dengan pelacakan lokasi yang terus nyala. Atau aplikasi gurem yang membagi data pribadi tanpa izin. Sampai isu gawai yang menguping.

Dan kasus pelanggaran privasi macam ini sampai diatur dalam regulasi mereka. Tapi sepertinya tidak dengan negara kita. Atau mungkin belum. Sampai ada kasus yang merugikan kita secara ekonomis.

Ketiga, distorsi disinformasi atau hoaks. Walau hoaks sudah melanda sejak 2014 di negeri kita. Namun gejala hoaks mereda tidak tampak. Kini malah seolah teramplikasi. Bukan saja individu yang terdampak. Namun sampai sendi-sendi demokrasi.

Peneliti dari Princeton menemukan hal mengejutkan dari ekses disinformasi pada Pemilu. Sejak 2014, ada setidaknya 24 negara Pemilunya diinterfensi pihak asing. Juga ada 40 negara mengeksploitasi pemilih melalui interfensi domestik. Baik dilakukan pemerintah sendiri atau organisasi lokal.

Di Indonesia, hoaks seolah menjadi menu sehari-hari informasi. Melalui grup WhatsApp, beragam hoaks muncul. Mulai dari hoaks seputar obat dan makanan. Sampai hoaks terkait bencana yang tidak hanya merugikan namun membahayakan nyawa. 

Sayangnya, dengan minimnya literasi media dan digital, banyak yang termakan hoaks. Bahkan banyak juga yang sampai dipenjara. Masih hangat ingatan kita pada hoaks yang disebar Ratna Sarumpaet. Atau 3 orang ibu di Karawang yang percaya mapel Agama akan dihapus dan akhirnya ditangkap polisi.

Selalu ada 2 sisi dalam setiap entitas kehidupan. Bahkan untuk teknologi yang kita anggap membwa kemanfaatan.

Socrates sendiri menentang ilmu filsafat dituliskan ke dalam catatan. Karena menganggap tulisan melemahkan daya pikir dan mengingat kita. Gutenberg pun menyesal saat ia menciptakan pencetakan buku dan koran di abad ke 14. Publik dibanjiri buku stensil porno, koran gosip murahan, sampai buku terlarang.

Begitupun dengan teknologi informasi yang kini kita punyai. Di awal tahun 90-an, internet begitu cerah dengan nuansa optimis. Bahwa dengan interkoneksi, umat manusia akan berkolaborasi menuju kebaikan bersama.

Namun, dalam hiper-konektivitas kini kita temui ekses negatif. Sebuah sisi teknologi yang mungkin tidak begitu dipikirkan dulu. Namun kini menjadi isu yang jika dibiarkan akan memenuhi internet dengan nuansa pesimis. 

Salam,

Jakarta Selatan, 10 Januari 2020

09:15 am

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun