Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Saya yang Berjalan Cepat, Atau Mahasiswa yang Berjalan Lambat?

22 September 2014   17:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:57 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="350" caption="(ilustrasi: cheezburger.com)"][/caption] Kadang saya berfikir, menjadi mahasiswa itu seperti 'Having the whole time in this world'. Atau dengan kata lain, waktu mahasiswa itu sangat luang dan santai. Sampai-sampai berjalan saja santai dan lambat. Sering saya harus berdehem atau berucap permisi jika saat saya berjalan ada beberapa mahasiswa berjalan menghalangi jalan. Santai sembari ngobrol dan kadang pula ngemil, mahasiswa ini berjalan seolah bukan di jalan umum. Seolah mereka berjalan di tanah lapang, sehingga mau berjejer sampai 3 atau 4 orang tidak masalah. Lebih lagi, mereka berjalan lambat. Kadang saya nggumun (bertanya-tanya, Jawa), saya yang jalannya cepat atau memang mereka yang lambat? Tidak cuma sekali saya alami hal ini. Beberapa kali, sampai tidak terhitung atau saya lupa. Jalan atau alley (lorong kecil depan kelas), memang ramai saat jam kuliah berganti. Namun tidak begitu ramai saat kuliah berlangsung. Saya kadang keluar kelas untuk mengambil sesuatu di meja saya. Namun, ada saja mahasiswa yang berjalan lambat. Tidak sekadar lambat, namun berbaris. Sepertinya mereka tidak ada hal lain yang dilakukan, sehingga sangat santai. Atau mereka memang sudah selesai kuliah, sehingga merasa santai. Padahal, saya memang butuh cepat ke meja saya dan kembali ke kelas. Sehingga, ada dua hal yang coba saya soroti hal ini, dari kacamata korban seorang yang dihalangi jalannya. Pertama, memang mahasiswa tidak klik pragmatiknya. Atau saya sering disebut tak tahu tata krama. Nah, ini mungkin yang sering terjadi. Etika berjalan sejatinya tidak menghalangi arus berlawanan. Serta, tidak menghalangi arus yang hendak mendahului. Mirip seperti di jalan raya atau jalan besar. Jika etika ini dipatuhi, kelancaran lalin pun terjadi. Namun, jika berjalan di jalan depan kelas saja tidak tahu etika. Apalagi di jalan raya. Sehingga, saya berfikir, apakah begini cara mereka di jalan raya. Menghalangi orang yang hendak mendahului. Saya dan istri saya selalu mencoba tertib berjalan. Jika jalan kecil atau di jalan yang dilalui motor atau mobil. Maka, kami tidak berjalan berjajar atau ber-shof. Karena tidak ingin menghalangi kendaraan di belakang kami. Hal ini juga menghindari celaka jika ada kendaraan yang kebetulan ngebut. Berbeda dengan mahasiswa yang saya temui. Mereka berjalan berjajar dan lambat. Selain menghalangi orang dibelakangnya. Hal ini juga cukup menyebalkan. Orang yang hendak mendahului ingin ada urusan cepat, malah jadi jengkel. Tata krama berjalan para mahasiswa, sepertinya sudah hilang. Kedua, mahasiswa berjalan lambat dan berjajar seolah memiliki 2 x 48 jam sehari. Mereka seolah merasa hari yang mereka lalui sangat lama. Sehingga mereka bisa santai dan semau mereka. Walau kadang, sering saya lihat curhat mereka di Facebook atau Twitter tentang tugas yang menumpuk. Atau ngomel dosennya memberi tugas yang bejibun dan banyak. Faktanya, mereka santai-santai saja saat berjalan dan mengobrol. Seolah tugas dan PR itu cuma ada di kost atau rumah mereka. Sehingga, tugas atau PR bukanlah menjadi bagian atau kewajiban mereka studi. Tapi bagai beban yang berat dan memberatkan. Namun tidak saat mereka berjalan santai dan berjejer. Andai saja mereka bisa sedikit membayangkan menjadi orang yang dihalangi jalannya. Seperti saya yang seharian harus mengajar sampai sore. Keluar masuk cuma untuk minum atau mengambil ATK. Menjadi orang yang memang bekerja dan melihat waktu sangat terbatas. Di kampus atau di kantor bekerja. Ada banyak deadline tugas atay administrasi yang harus dipenuhi. Coba kalau mereka bisa melihat dan menjadi orang yang menghargai waktu. Saya fikir tidak ada lagi mengeluh tugas. Bisa saja selesai kuliah mereka kerjakan di luar kelas. Tugas kelompok langsung dibahas dan dijawab setelah jam istirahat, dll. Beban tugas kadang hanya buatan fikiran mereka sendiri saja. Fenomena ini sepertinya dipelajari (learned) atau dicontohkan (modeled). Dipelajari dari lingkungan sekitar mahasiswa. Entah itu orangtua atau teman, atau orang-orang terdekat mereka. Atau memang dicontohkan orangtua, atau orang-orang terdekat mereka. Sebuah fenomena nyata, dimana tata krama dan pola fikir generasi kita saat ini yang semakin hilang kepribadian baiknya. Sebuah generasi yang terombang-ambing. Salam, Solo, 22 September 2014 10:30 am

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun