Mohon tunggu...
Valentinus ReligioP
Valentinus ReligioP Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Hobi menjadi Homo Homini Socius

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengolah Akar dari Fenomena "Joki" Karya Ilmiah

24 Februari 2023   08:43 Diperbarui: 24 Februari 2023   09:00 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

SEE

            Integritas dalam dunia pendidikan sangatlah dijunjung tinggi oleh para akademisi, terlebih dalam proses pembuatan karya ilmiah yang menjadi standar kelulusan dan kenaikan jabatan seorang akademisi. Menurut kepala pusat penelitan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Negeri Padang, Sumatera Barat, Krismadinata, akademisi harus mengedepankan etika ilmiah saat mengerjakan riset, apalagi jika penelitian itu untuk naik jabatan ke guru besar. Namun, baru-baru ini kita dikejutkan oleh berita mengenai keterlibatan calon guru besar dalam praktik perjokian karya tulis. Bahkan untuk membahas hal ini, kompas mengeluarkan berita investigasi mengenai "perjokian" selama dua hari berturut-turut (10 Februari 2023 dan 11 Februari 2023).

            Sebenarnya, kasus perjokian ini bukanlah isu baru. Isu mengenai joki karya ilmiah telah terkenal sejak lama. Dalam artikel Fenomena Buruk yang Diabaikan Kompas 11 Februari 2023, penulis menyatakan "Sekitar 10 tahun lalu, joki skripsi ibarat usaha kaki lima, dikerjakan perseorangan dengan skala usaha kecil." Sehingga, dirasa saat ini adalah waktu yang tepat bagi kita untuk lebih melek dan waspada akan fenomena ini. Bila fenomena ini terus diabaikan, bagaimana pendidikan Indonesia dapat berjalan sesuai dengan esensinya?

            JUDGJE

           Berita yang baru-baru ini mengangkat fenomena "perjokian" membantu kita untuk membuka mata akan celah-celah pendidikan yang selama ini tersembunyi. Tentunya banyak tanggapan yang bermunculan di tengah masyarakat yang mempertanyakan integritas dosen dan pendidikan Indonesia masa ini. Mungkin ada yang bertanya, "Bagaimana mungkin calon guru besar mengesampingkan integritas demi uang tunjangan karena kenaikan jabatan? Bukankah sosok dosen menjadi sosok teladan bagi peserta didiknya? Bila dosen dan calon guru besar saja demikian, bagaimana Indonesia dapat dipimpin oleh pemimpin-pemimpin yang jujur?"

          Bila kita memandang kasus perjokian karya ilmiah ini hanya sebatas permasalahan nilai integritas dan kejujuran, agaknya hal itu masih sempit dan mendasar. Tentunya terdapat akar-akar yang menjadi penyebab maraknya kasus melawan integritas ini dan dampak-dampak yang muncul akibat fenomena ini.

        

Pada mulanya, tindakan ini dipilih oleh akademisi yang berorientasi agar cepat naik pangkat dan jabatan. Syarat yang harus dipenuhi salah satunya adalah menerbitkan artikel jurnal ilmiah bereputasi atau terindeks Scopus. Setiap akademisi dapat memilih berbagai cara untuk mengerjakan karya ilmiah ini. Ada jalan yang baik (dibenarkan secara etik) da nada jalan yang salah (melanggar etik). Bila, seorang akademisi memilih jalan yang baik, pastinya ia akan menempuh proses yang sangat panjang dan sulit, namun karyanya dapat berbuah limpah bagi dirinya dan sesama. Tetapi bila seorang akademisi memilih jalan yang salah dengan melibatkan orang ketiga dalam pengerjaan karya ilmiah, maka ia akan memperoleh hasil karya tulis yang cepat, namun tidak memiliki daya kembang dan ubah bagi diri sendiri serta sesama.

            DISCERN

Sebenarnya, apa yang menjadi sebab utama seseorang dapat memilih joki sebagai jalan pintas pengerjakan karya ilmiah?

            Terdapat berbagai macam pendapat yang mencoba menjawab pertanyaan itu. Namun, hal yang memotivasi seseorang untuk memilih joki untuk mengerjakan karya ilmiah adalah kapasitas dan karakter dari si akademisi. Dari segi kapasitas, seseorang yang memiliki kemampuan riset yang rendah dan rendahnya minat riset, akan dengan mudah memilih jalan pintas berupa jasa joki. Kemampuan riset yang rendah juga berkaitan dengan keterbatasan dalam kemampuan menulis, kemampuan berpikir kritis, dan kemampuan untuk mendesain penelitian dengan baik, hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Whinda Yustisia dalam artikelnya di KOMPAS 20 Februari 2023. Selain itu, minat riset adalah hal yang mendasar dalam proses pembuatan suatu karya ilmiah. Bila seseorang tidak memiliki minat riset yang cukup, bagaimana ia dapat mengerjakan karya ilmiah sesuai dengan motivasi dan kehendak bebas dirinya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun