Mohon tunggu...
gintanghaisani
gintanghaisani Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Komunikasi yang tertarik dengan bidang jurnalistik

Selanjutnya

Tutup

Nature

Di Balik Tren Kekinian: Jejak Fast Fashion Pada Lingkungan

5 Oktober 2025   13:11 Diperbarui: 5 Oktober 2025   13:11 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Timbunan Limbah Tekstil

Dampak lain adalah limbah tekstil padat yang menumpuk di tempat pembuangan akhir (TPA). Pola konsumsi fast fashion yang mendorong konsumen untuk membeli pakaian baru seiring bergantinya koleksi dan tren, membuat usia pakaian semakin singkat atau bahkan hanya digunakan beberapa kali dan pada akhirnya cenderung dibuang begitu saja. Sayangnya, sebagian besar pakaian ini berbahan sintetis yang membutuhkan waktu puluhan hingga ratusan tahun untuk terurai. Akibatnya, timbunan sampah tekstil terus bertambah setiap tahunnya. Menurut data UN Environment Programme, sekitar 92 juta ton pakaian bekas dibuang setiap tahun. Angka ini diperkirakan akan meningkat menjadi 134 juta ton pada tahun 2030. Kondisi ini jelas menjadi ancaman besar bagi keberlanjutan lingkungan hidup kita.

Emisi Karbon

Rantai pasok global industri fast fashion juga turut menyebabkan peningkatan signifikan terhadap emisi karbon. Distribusi pakaian dari negara produsen ke negara konsumen melibatkan transportasi lintas benua, mulai dari kapal kargo hingga pesawat, yang mana proses ini menghasilkan gas rumah kaca dalam jumlah besar. Data internasional bahkan menyebutkan bahwa industri fashion menyumbang sekitar 10% dari total emisi karbon dunia. Fakta ini menunjukkan bahwa fast fashion juga berkontribusi dalam memperburuk krisis iklim global.

Fast Fashion dan Komunikasi Risiko

Dengan berbagai dampak negatifnya terhadap lingkungan, fast fashion bukan lagi sekadar isu gaya hidup atau tren konsumsi, melainkan sudah menjadi sebuah isu lingkungan yang harus kita perhatikan. Kondisi ini dapat dilihat sebagai contoh dari kegagalan komunikasi risiko. Konsep komunikasi risiko atau risk communication adalah proses penyampaian informasi mengenai risiko potensial kepada publik, dengan tujuan agar masyarakat dapat memahami, menyadari, serta mengambil langkah pencegahan terkait bahaya yang dihadapi. Konsep ini tidak hanya tentang penyampaian informasi, tetapi juga menyangkut bagaimana pesan atau risiko dimaknai dan ditindaklanjuti oleh berbagai pihak yang terlibat, mulai dari pemerintah, industri, media, hingga konsumen.

Dalam konsep risk communication, persepsi publik terhadap risiko akan suatu hal seringkali berbeda dengan tingkat risiko yang sebenarnya. Dalam konteks fast fashion, risiko-risiko utama seperti, penggunaan air yang berlebihan, pencemaran limbah kimia, pelepasan mikroplastik, penumpukan limbah tekstil, dan emisi karbon yang berkontribusi pada perubahan iklim, kerap tidak langsung terlihat secara kasat mata dan dirasakan dalam kehidupan sehari-hari konsumen. Dengan ini, konsumen tidak menyadari kerugian instan yang terjadi setelah membeli pakaian, sehingga risiko lingkungan dipandang abstrak. Kondisi ini memperlihatkan adanya kesenjangan besar antara realitas kerusakan lingkungan dengan kesadaran masyarakat.

Isu fast fashion juga melibatkan banyak aktor yang mengkomunikasikan risiko dengan cara dan kepentingan yang berbeda. Komunikasi tentang limbah fast fashion terfragmentasi di antara berbagai pemangku kepentingan. PBB, lembaga pemerintah, ataupun organisasi non-pemerintah (NGO), cenderung menyoroti data tentang pencemaran air, limbah tekstil, emisi karbon, dan berbagai dampak negatif lain terhadap lingkungan.

Media massa, di sisi lain, memegang peran penting dalam membingkai isu fast fashion. Sebagian media mengangkatnya sebagai tren gaya hidup yang lekat dengan gaya anak muda yang semakin memperkuat sisi konsumtif dari industri ini. Di sisi lain, media juga menyoroti fast fashion sebagai masalah lingkungan global dengan menampilkan dampak-dampak negatifnya terhadap lingkungan. Hal ini sejalan dengan  teori Social Amplification of Risk Framework (SARF) yang menjelaskan bahwa suatu risiko dapat dipersepsikan lebih besar atau lebih kecil oleh masyarakat, tergantung pada bagaimana informasi tersebut disebarluaskan oleh media, lembaga pemerintah, atau kelompok sosial. Akibatnya, persepsi publik menjadi terbagi-bagi, dimana di satu sisi merasa terbawa oleh tren busana kekinian, namun di sisi lain diingatkan tentang kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya.

Mengapa Kesadaran Tidak Selaras dengan Tindakan?

Meski kesadaran masyarakat mengenai dampak negatif fast fashion terhadap lingkungan telah meningkat seiring dengan kampanye dan pemberitaan media, peningkatan kesadaran ini belum berbanding lurus dengan perubahan perilaku konsumen secara signifikan. Banyak orang mungkin sudah memahami bahwa industri fast fashion berkontribusi buruk terhadap lingkungan, tetapi dalam praktiknya, kemudahan akses dan tekanan gaya hidup masih seringkali menjadi pertimbangan utama saat berbelanja. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun