Sepertinya amarah Vano semakin memuncak. Ia mengarahkan kepalan tangannya hingga mendarat di wajah sebelah kiriku. Sedikit sakit memang, tapi bukan berarti aku tak bisa melawan. Aku membalas pukulan itu, bukan di wajah, tapi di perut. Tak kusangka ia langsung tak berdaya hingga tak sanggup lagi berdiri.
"Hei, dengar," kataku menunduk, menyamakan posisi. "Menikahi orang yang kita cintai adalah sebuah harapan. Tapi mencintai orang yang kita nikahi, adalah sebuah keharusan. Camkan itu, dan jadilah suami bertanggung jawab untuk keluargamu."
Kini aku sudah ada di depan rumah Inka untuk mengantarnya pulang. Di sepanjang perjalanan dia sama sekali tak bicara dan memilih menatap jendela mobil melihat lampu jalanan. Aku paham Inka pasti marah padaku karena telah mengacaukan malam ini. Tapi setidaknya tujuan utamaku sudah selesai.
Jika pun ke depannya mereka masih saling berhubungan, itu risiko mereka yang tak ingin aku campuri. Tugasku cukup sampai sini. Dan ketika Inka butuh teman untuk mendnegarkan keluh kesahnya, aku akan tetap ada sampai kapanpun itu.
"Bara..." katanya sebelum turun dari mobil. Aku merespons cepat karena takut ia membutuhkan sesuatu. "Makasih udah bantu aku, termasuk soal malam ini. Mungkin kalau kamu nggak melakukan itu, aku dan Vano akan terjebak selamanya di lingkaran setan ini."
Aku melihat matanya mulai basah seperti menahan tangis. Maka aku membuka lebar pergelangan tangan, memberi tanda bahwa aku siap menjadi pelukannya untuk malam ini.
Benar saja, untuk kesekian kalinya, Inka menangis histeris dalam pelukanku.