Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Menyingkap Resah Pesepak Bola di Balik Gemerlap Stadion

29 April 2020   15:33 Diperbarui: 1 Mei 2020   05:34 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi lampu stadion sepak bola yang mati, tidak lagi ada pertandingan sejak wabah Covid-19 menyebar| Sumber: Kompas.com/Herpin Dewanto Putro

Depresi bukanlah persoalan yang bisa dianggap sepele, sebab depresi bisa menyerang pelbagai kalangan masyarakat. Termasuk pemain sepak bola profesional yang kita kenal hidup berkecukupan sekalipun. 

Namun di balik akses kehidupan yang hedonis itu tersingkap beberapa kondisi memprihatinkan para pekerja lapangan hijau ini yakni mereka juga bersahabat dengan kesehatan mental atau depresi.

Association Psychology American mendefinisikan depresi sebagai gangguan yang terutama ditandai oleh kondisi emosi sedih dan muram serta terkait dengan gejala-gejala kognitif. Fisik dan interpersonal.

Sementara dampak depresi menurut John & James, 1990, individu yang menderita depresi aktivitas fisiknya menurun, berpikir sangat lambat, kepercayaan diri menurun, semangat dan minat hilang, kelelahan yang sangat, insomnia, atau gangguan fisik seperti sakit kepala, gangguan pencernaan, rasa sesak di dada, hingga keinginan untuk bunuh diri.

Asosiasi Pesepak Bola Profesional (FIFPro) menyadari betul betapa bahayanya depresi yang didefinisikan di atas sehingga pada 2015 silam mereka melakukan riset terhadap 826 pesepak bola. Hasilnya sebanyak 38% pemain yang masih aktif bermain mengaku mengidap gejala-gejala yang disebutkan pada definisi depresi di atas.

Hal yang sama juga diderita oleh 35% pemain yang telah memutuskan pensiun dari lapangan hijau. Mayoritas mereka (masih dan pernah) manggung di level atas liga top Eropa, serta pernah mencatatkan caps bagi timnasnya masing-masing.

Seperti dikutip dari BBC, kepala medis FIFPro, Vincent Gouttebarge, berharap riset tersebut dapat jadi alarm untuk perawatan lebih dini terhadap pemain yang terdampak depresi. 

Ia juga menyebut peran klub amat dibutuhkan untuk mengedukasi pemain yang hendak pensiun, apa yang mesti eks pemain tersebut lakukan setelah tak lagi bermain sepak bola.

Pada 2016 saja terdapat 62 pemain yang masih aktif bermain dan 98 mantan pemain yang berkonsultasi dan meminta dukungan dari serikat kerja para pesepak bola profesional di wilayah Britania Raya. 

Michael Bennet dari Professional Footballers Association (PFA), mengakui bahwa angka tersebut cenderung meningkat dari tahun ke tahun.

"Jumlah ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Bagi saya, kunci untuk mengatasi hal ini adalah dengan membuat para pemain sadar bahwa ada tempat untuk mereka berkeluh kesah," ungkap Bennet. Seperti dinukil dari Tirto.

"Semakin mereka tersadarkan, maka layanan kami dapat digunakan oleh banyak pemain lain. Kami selalu meyakinkan mereka agar menceritakan apa saja yang mereka alami dan banyak pihak yang mendukung mereka," lanjut dia.

Setahun berselang mengacu pada laporan The Guardian. 9 Oktober 2018, data menarasikan bahwa kasus yang ditangani PFA memang mengalami peningkatan. Dari 160 pada tahun 2017 menjadi 403 kasus terdata di tahun 2018.

Mendiang Robert Enke membuka kisah memilukan tentang resah-resah yang berujung maut bagi pemain sepak bola, Ia melakukan bunuh diri ketika usianya masih sangat produktif sebagai seorang penjaga gawang di Hannover 96, yakni berusia 32 tahun. Pemain yang mencatatkan 8 caps bersama Timnas Jerman itu mengalami depresi sejak 2003.

Konon yang jadi penyebab utamanya adalah ketika ia kehilangan tempat utama di Barca. Sang istri, Teresa, terus berupaya menghapus depresi yang diidap oleh suaminya itu. Ia pernah mengatakan bahwa sepak bola bukanlah segalanya dalam hidup.

Namun, depresi yang dialami Enke malah menjadi semakin akut tatkala putri semata wayangnya yang bernama Lara meninggal dunia akibat penyakit jantung kronis pada tahun 2006.

Meski sang istri telah memutuskan untuk mengadopsi anak baru usai meninggalnya Lara. Enke tak kuasa menghindarkan rasa takut bahwa anak angkatnya itu suatu saat nanti bakal dikembalikan ke panti. Pada akhirnya Enke ditemukan tak bernyawa di sebuah perlintasan kereta api di Neustadt am Rubenberge.

Salah satu kisah memilukan lain mengenai gejala akut depresi juga pernah menimpa eks pesepak bola tenar yang juga sempat melatih Timnas Wales, Gary Speed. Eks pemain Leeds United itu ditemukan gantung diri oleh sang istri di garasi rumah mereka pada 27 November 2017.

Meski tak memperlihatkan gejala sedikitpun, Gary menyimpan erat-erat depresi yang dideritanya. Ia enggan jika orang lain mengetahuinya dan malah dicap sebagai kelemahan dirinya. Disamping itu, ia juga menyebut jika depresi tidak seperti penyakit pada umumnya yang perawatannya bisa dengan mudah diakses.

Cerita mendiang Robert Enke dan Gary Speed sebagai depresi yang berujung maut untuk kali terakhir tak bisa dijadikan indikator utama bahwa resah-resah telah usai di sepak bola. Sebab banyak yang tak mengungkapkannya ke publik karena ketakutan lain; dianggap lemah.

Padahal sepak bola merupakan olahraga dengan intensitas tinggi, tekanan dari tribun yang berujung teror, cedera yang tak cuma menyakitkan melainkan juga menumbuhkan rasa frustatif, persaingan ketat dalam tim, dan banyak lagi cara pesepakbola terkulai lemas dihantam depresi.

Keresahan Saat Lampu Stadion Terus Padam di Tengah Pandemi

Berpekan-pekan, selepas Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan bahwa Covid-19 merupakan sebuah pandemi. Entah berapa juta lampu stadion yang ikut dimatikan. Tak ada pertandingan, bahkan latihan pun tiada. Dalam gelapnya stadion, pemain tentu merasakan ketidakpastian.

Hal tersebut ditegaskan langsung oleh FIFPro, mereka mencatat sekitar 22% pesepak bola wanita dan 13% pesepak bola pria turut serta dalam survei itu mengaku mulai merasakan gejala-gejala depresi diantaranya lemas, kurang nafsu makan, dan kurang percaya diri.

Sementara jika dibandingkan dengan hasil survei sebelumnya yang dilakukan pada masa awal pandemi, Desember 2019 dan Januari 2020, jumlah tersebut mengalami peningkatan, sebab di masa tersebut hanya 11% pesepak bola wanita dan 6% saja pesepak bola pria yang mengalami depresi.

Dalam survei tersebut FIFPro berkolaborasi dengan Pusat Medis Universitas Amsterdam dan melibatkan ribuan pesepakbola dari 16 negara, dengan rincian 1.134 atlet pria berusia rata-rata 26 tahun dan 486 wanita berusia 23 tahun.

"Gejala depresi itu dirasakan oleh para pemain muda, baik pria maupun wanita, karena tiba-tiba harus melakukan isolasi diri, yang akhirnya mempengaruhi pekerjaan dan masa depan mereka. Ini adalah masa yang penuh dengan ketidakpastian bagi para pesepak bola beserta keluarganya," pekik Kepala Petugas Medis FIFPro, Vincent Gouttebarge. Seperti dinukil dari Reuters.

Meski begitu, Gouttebarge menyatakan kabar baik sekitar 80% atlet yang di survei itu memiliki akses buat mengatasi kesehatan mental yang mereka alami. Mayoritas akses didapat dari asosiasi pesepakbola setempat/negara yang bersangkutan.

Sementara itu, Sekjen FIFPro, Jonas Baer-Hoffman, menyebut jika survei tersebut bagian dari masalah yang umum di masyarakat luas, sebab pesepakbola juga bagian dari masyarakat. Hanya saja, beberapa salah dalam mengejewantahkan kehidupan para pesepakbola.

"Kami sadar bahwa hasil survei ini merupakan cerminan dari masalah yang terjadi di masyarakat luas, karena sebenarnya mereka [pesepakbola] juga bagian dari masyarakat. Hanya saja, banyak yang salah paham dengan kehidupan yang mereka jalani," pekiknya. 

Ia juga mengungkapkan bahwa tidak sedikit pesepak bola yang kini kesulitan dalam hal keuangan. Sebab mereka juga bekerja tak ubahnya masyarakat pada umumnya. 

Bahkan banyak dari mereka yang hanya bergantung pada skill sepak bola untuk menyambung hidup, mereka tak punya bisnis atau pekerjaan lain disamping bermain bola. Tak heran jika kemudian banyak dari mereka yang kesulitan di masa-masa pandemi Covid-19 ini.

"Mereka dikontrak rata-rata kurang dari dua tahun dengan pendapatan rata-rata yang tidak jauh berbeda dari masyarakat umum. Bahkan, banyak dari mereka yang hanya bergantung pada keterampilan sepak bola, sehingga tidak punya apa-apa jika hal buruk menimpa mereka," tegas dia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun