Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Pesan Glenn Fredly untuk Sepak Bola Indonesia

9 April 2020   01:20 Diperbarui: 9 April 2020   22:06 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: KOMPAS IMAGES/ MUNDRI WINANTO

Musisi legendaris Indonesia bernama lengkap Glenn Fredly Deviano Latuihamallo tutup usia di Rumah Sakit Setia Mitra, Fatmawati, Jakarta Selatan, pada Rabu (8/4) petang. Teuku Adifitrian alias Tompi membenarkan kabar mangkatnya penyanyi berdarah Maluku itu.

"Telah berpulang saudara kami, Glenn Fredly, malam ini. Mohon dimaafkan semua salahnya. Dia yang selalu hadir menggerakan kita semua," tulis Tompi melalui WhatsApp kepada Kompas.com.

Kepergian seorang Glenn tentunya cukup meninggalkan kesedihan yang mendalam dari berbagai kalangan. Sebab selama bertahun-tahun karyanya di belantika musik tanah air tak diragukan lagi.

Glenn tak langsung berkarir sebagai penyanyi solo. Pria yang lahir 30 September 1975 itu berdebut sebagai vokalis Funk Senction sekitar tahun 1995, ketika dirinya lulus SMA. Baru tiga tahun kemudian Ia memilih untuk menjadi solois di dunia tarik suara sekaligus meluncurkan album pertamanya bertajuk GLENN yang berisi 8 buah lagu.

Album pertamanya pun tak langsung laris manis dipasaran. Sebab album kedua lah, bertajuk KEMBALI, yang kemudian membawa popularitas seorang Glenn Fredly menanjak. Mulai saat itu, telinga masyarakat dimanjakan lewat album Selamat Pagi, Dunia! (2002), Ost Cinta Silver (2005), Aku dan Wanita (2006), Happy Sunday (2007), Private Collection (2008), dan Lovevolution (2010).

Glenn juga tak hanya dikenal sebagai musisi populer solo terbaik, sebab Ia sempat menggandeng Tompi dan Shandy Sandoro untuk membentuk trio bernama Trio Lestari. Selain gemilang sebagai penyanyi dan pencipta lagu, Glenn pun mahir sebagai produser musik dan film.


Di dunia tarik suara, Ia menjadi produser untuk album Pasto (2005), Yura Yunita (2014), dan Hidayah (2016). Sedangkan di dunia sineas, Ia melakukan kolaborasi dengan produser Angga Sasongko untuk menggarap proyek film Cahaya dari Timur: Beta Maluku (2014). Sebelumnya Ia kerap membintangi film layar lebar. Termasuk fim Tanda Tanya pada tahun 2011.

Tentu yang paling menarik dari perjalanan karirnya di dunia entertainment tanah air adalah saat Glenn menggarap proyek film bertemakan sepak bola, Cahaya dari Timur: Beta Maluku (2014). Sebab banyak pesan sarat makna dari film berdurasi 2 jam 31 menit itu.

Beta Maluku, Warisan Glenn Buat Sepak Bola Indonesia

"Saya produseri sebuah film yang diangkat dari kisah nyata tentang sepak bola di sebuah desa di Maluku. Pada 1999, konflik itu terjadi, saya tergugah pulang ke Ambon," kata Glenn kala itu. Seperti dinukil dari Detik.com.

Film yang digarapnya bersama produser Angga Sasongko dan penulis cerita Andi Bachtiar Yusuf itu begitu membekas bagi pecinta sepak bola nasional. Tak heran jika kemudian film berlatar kisah nyata itu menggaet beberapa nominasi di Piala Citra dan Piala Maya tahun 2014.

Karya Glenn dan Angga ini berhasil menyabet dua piala sekaligus di Piala Citra 2014. Untuk film cerita panjang terbaik dan pemeran utama pria terbaik: Chicco Jerikho. Sedangkan di Piala Maya di tahun yang sama, film ini juga dinobatkan pada dua nominasi serupa.

Dalam proyeknya tersebut, Glenn tak cuma jadi produser, namun Ia juga yang menggarap musik di film tersebut. Lagu yang terdapat dalam soundtrack film itu berjudul Tinggikan, yang liriknya berkisah tentang semangat kehidupan anak-anak Maluku.

Film ini menarasikan kecintaan Glenn terhadap dunia bal-balan, sepak bola, dalam negeri. Bukan hanya cerita sepak bola secara utuh, Glenn berhasil menyampaikan pesan perdamaian dan kisah perjuangan anak-anak dari timur dengan setting kerusuhan yang pernah terjadi di Ambon.

Film yang kental akan budaya lokal itu bercerita mengenai perjuangan Sani Tawainella yang diperankan oleh Chicco Jerikho untuk menyelamatkan anak-anak di kampungnya dari konflik agama, dan semua diwujudkan lewat sepak bola. Sani merupakan eks pemain Timnas Pelajar dan pernah tampil di Piala Pelajar Asia tahun 1996.

Namun, itulah peak performance Sani dalam dunia pesepakbolaan. Namanya tak lagi muncul di Timnas secara berjenjang, bahkan Ia tak punya catatan karir bersama klub profesional. Berangkat dari perjalanan karir tersebutlah Sani mulai peduli sekitar, termasuk memberanikan diri melatih anak-anak di kampungnya meski tanpa lisensi kepelatihan.

"Dia [Sani] sempat menjadi tukang ojek, dan dalam keterbatasan itu dia mampu membangun sepak bola di desanya. Kerja kerasnya itu menjadikannya sebagai pelatih bagi tim sepak bola Maluku U-15 dan mereka menang saat itu di Jakarta," tutur Glen saat menghadiri jumpa pers peluncuran film pada tahun 2014. Seperti dikutip dari Kompas.com.

The Power of Football begitu terasa ketika pertandingan final berlangsung. Sentimen konflik keagamaan tiba-tiba memudar demi menonton siaran langsung pertandingan tersebut.

Tak hanya itu, Sani sebagai pelatih yang membawa anak-anak itu bertanding di Jakarta sempat dibuat marah akibat cekcok para pemainnya di ruang ganti ketika turun minum.

Sebenarnya Sani terbiasa dengan cekcok para pemainnya serta dua kubu berlandaskan agama yang membelah timnya. Namun, di partai puncak sang pelatih tak kuasa menahan lagi amarahnya.

Tak ubahnya seorang Brian Clough yang tengah melecut para pemainnya, Sani mengubah energi negatif berupa kemarahannya itu menjadi motivasi bagi anak-anak asuhnya sendiri untuk bersatu dan menang. Keberhasilan Sani meredakan konflik di ruang ganti dan konflik secara keseluruhan di Ambon inilah yang mengundang decak kagum. Apalagi endingnya tim Maluku U-15 yang dibawanya juara dalam kompetisi tersebut.

"Saya mau menyampaikan bahwa sepak bola bisa menjadi misi perdamaian. Demikian pula seni budaya, dapat menjadi jembatan untuk mencari jalan keluar bagi persoalan bangsa," pekik Glenn.

Ia juga menyampaikan bahwa sepak bola nasional bisa berpretasi bukan malah jadi wadah perseteruan kepentingan-kepentingan tertentu. Dalam hal ini agaknya Ia sedikit menyinggung dua kubu di tubuh federasi sepak bola nasional yang pernah berseteru, PSSI dengan KPSI pada 2012 silam.

"Kami ingin sepak bola nasional yang dicintai masyarakat berprestasi. Bukan menjadi ajang perseteruan kepentingan-kepentingan pihak tertentu," harap Glenn, 19 Januari 2013. Seperti dinukil dari Liputan 6.

Sebuah pesan yang sarat dengan makna bahkan masih relevan untuk kondisi sepak bola kita hari ini. Jika perseteruan dianggap sudah mereda hari ini -- baik di internal organisasi maupun gesekan antar supporter -- tetapi keinginan Glenn terhadap prestasi membanggakan bagi sepak bola nusantara belum jua terwujud.

Alih-alih menarik sebuah kesimpulan, penulis pun tak kuasa bersenandung;

"Kasihku,
Sampai disini
Kisah kita.
Jangan tangisi keadaannya,"

Ya, memang demikian keadaannya, kasih seorang Glenn lewat lagu, film, dan sepak bola telah usai. Tak heran jika kemudian semua orang dari berbagai kalangan begitu kehilangan sosok Glenn Fredly.

Di industri musik, film, dan sepak bola namanya akan mudah diingat oleh kalangan mana pun. Semoga secarik pesan yang belum terwujud (baca: prestasi) segera dibalas oleh sepak bola kita.

Selamat jalan, Bung. Katong semua utang rasa pada ale. Danke!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun