Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Di Balik Lindungan Kata Oknum

30 September 2018   23:10 Diperbarui: 1 Oktober 2018   13:18 779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto diambil oleh Okezone Bola di Laga Amal Haringga semalam (29/9)

Justru hal subtantif yang dikatakan Eko Maung sapaan Eko Nur Kristiyanto itulah yang kerap diabaikan, Kita sering lupa bahwa dibalik kelamnya pertumpahan darah yang terjadi di sepakbola nasional ada segmen permusuhan dan benci yang terus diregenerasi khususnya di akar rumput. Hal subtantif itulah yang mestinya disoroti.

Butuh solusi jangka pendek dan jangka panjang untuk mengatasi masalah kronis yang kini telah jadi isu kemanusiaan nasional. Solusi jangka pendeknya tidak lain adalah memperketat hal-hal prosedural tadi dengan cara memperketat keamanan dan jangka panjangnya ialah memutus rantai permusuhan atau mendamaikan kedua belah pihak.

Untuk solusi damai memang butuh proses panjang. Segala sesuatunya harus dimulai dari akar rumput, kelirunya kita ialah terlalu senang dengan cara cepat alias instan yang sama sekali tidak memberikan dampak, termasuk perdamaian yang dilakukan langsung dari petinggi-petinggi klub dan supporter. Cara-cara seperti itu yang membuat perdamaian terkesan dipaksakan, tidak benar-benar dari hati dan menyentuh rakyat kelas bawah dalam istilah politik.

Jika asal muasalnya permasalahan ini dipicu oleh hal-hal sepele kenapa kita tidak selesaikan juga dengan solusi-solusi sederhana? Salah satunya menyebar larangan nyanyian "dibunuh saja" dan chants rasis lainnya. Percuma deklarasi, ikrar damai, dan lain-lain jika dalam sebuah laga amal untuk Haringga dengan tema: "Rivalitas tanpa membunuh" saja masih nyaring nyanyian "dibunuh saja"!

Perlindungan Kata Oknum

Dalam KBBI daring, kata oknum berarti orang/anasir (dengan arti yang kurang baik) yang bertindak sewenang-wenang dan tidak bertanggung jawab. Jelas kata oknum tidak asing di telinga kita.

Dalam keseharian pun kita kerap mendengar kata "oknum" digunakan untuk memagari korps/organisasi dari busuknya seorang anggota sendiri yang berbuat kesalahan. Penggunaan kata oknum ini sering membuat sekelompok organisasi nyaman, karena anggota yang berbuat dosa itu mereka cap sebagai oknum dan bukan anggota mereka, semacam langkah pembelaan/cara membersihkan nama organisasi.

Pun di sepakbola, entah sudah berapa oknum yang saling bunuh. Padahal akui saja yang membunuh Rangga Cipta Nugraha adalah Jakmania, dan yang membunuh Haringga adalah Bobotoh. Agar dikemudian hari sekelompok supporter terkait bisa memiliki rasa saling memiliki. Artinya ketika melihat anarkisme dari orang-orang tak bertanggung jawab yang menggunakan atributnya sendiri mereka bisa meredam dan menjaga nama baik kelompoknya.

Masih mengenai kata oknum, Zen Rachmat Sugito (pendiri PanditFootball) punya sudut pandang tersendiri. "Untuk setiap aib yang tidak mungkin diakui, bahasa Indonesia menyediakan jalan keluar yang menyebalkan: oknum", tulisnya melalui akun twitternya @zenrs.

Kedepan kita harus memegang teguh prinsip: dosa supporter adalah dosa klub. Apapun yang dilakukan supporter akan berdampak pada klub yang mereka dukung. Maka dari itu, sudah semestinya media, pihak Persib, dan bobotoh sendiri meminggirkan kata oknum. Karena itu bisa menjadi bahan intropeksi dan edukasi paling efektif menurut saya, karena tanpa oknum membunuh adalah aib. Bukan dibiarkan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun