Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Sepak Bola Pragmatis dan Sepak Bola Nilai

26 November 2017   21:44 Diperbarui: 27 November 2017   01:19 3117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam pertandingan sepakbola terkadang ada yang bermain cantik tapi kemudian kalah, ada juga yang bermain buruk tapi pada akhirnya memenangkan pertarungan. Dari sudut pandang pemirsa/penonton tentu mereka bisa menggunakan hak 'tuntutan' jika salah satu diantara kedua studi kasus demikian menimpa timnya. Atau sederhananya, mereka bisa mendelegasikan aspirasi dengan sebuah kata: kecewa.

Suatu pandangan yang pastinya berseberangan dengan persepsi seorang manajer tim/juru latih tim yang bersangkutan. Seorang pelatih bisa saja menangkal kekecewaan itu dengan dua buah pilihan: sepakbola pragmatis dan sepakbola nilai. Bersikap praktis untuk hasil? Atau, mencipta dengan jiwa untuk sebuah nilai?

Agar lebih gamblang, mari kita tinggalkan perbedaan persepsi antara onggokan penonton dan salah satu pelatih yang tak jelas identitasnya tersebut. Saya akan berusaha menganalogikan sepakbola pragmatis dan sepakbola nilai itu dengan analogi yang berdasar pada pengalaman sendiri.

Dari turnamen ke turnamen walaupun kelompok usia dini, sebagai pelatih, saya seolah menemukan sudut pandang yang makin menarik dan mendewasakan persepsi sepakbola. Sampailah pada sebuah turnamen yang memberi saya ruang untuk menggambar persepsi baru dalam konteks permasalahan di lapangan hijau. Dalam turnamen terakhir yang diikuti, oleh orang tua pemain dan pendukung tim saya dituduh menerapkan sepakbola negatif. Padahal saya hanya berusaha berpikir pragmatis dalam situasi demikian.

Situasi demikian? Ya, apa yang akan anda lakukan di tengah badai cedera, cadangan hanya satu pemain, dan para pemain baru? Sembrono jika kemudian seorang pelatih lebih memilih sepakbola nilai ketimbang sepakbola pragmatis! Sebuah kondisi yang tidak memungkinkan sebuah tim untuk bermain gegenpressing ala Juergen Klopp, tiki-taka ala Pep Guardiola, sepakbola menyerang ala Mauricio Pochetino atau Zinedine Zidane. Dalam arti sempit, sepakbola yang menghibur/sepakbola nilai.

Materi pemain yang alakadarnya membuat saya merasa tidak perlu diadili sebagai penganut 'Mourinho style'oleh mereka. Aksi persekusi yang tidak semestinya saya dapatkan. Bisa saja ketika itu saya langsung mengeluarkan argumen: "Dengan sepakbola pragmatis toh kita lolos ke semifinal. Lalu anda masih merasa kecewa dengan tim ini? Belum tentu jika saya menerapkan sepakbola nilai tim alakadarnya melangkah sejauh ini".

Namun saya lebih memilih duduk bersama, menjelaskan dengan beberapa persepsi. Saya merasa, jika pun materi pemain ideal, saya akan tetap berpikir pragmatis ketimbang memilih sepakbola yang bernilai. Jadi begini, sebelum semuanya melebar jauh, ada baiknya kita pahami terlebih dulu sebuah kata yang condong lebih banyak disebutkan sedari awal: pragmatis.

Menurut kamus Cambridge, pragmatis didefinisikan sebagai suatu kemampuan untuk mendekati persoalan dengan masuk akal sesuai pertimbangan praktis ketimbang teoritis. Sedangkan menurut kamus oxford, pragmatis merupakan tindakan yang didasari pada pengalaman praktis atau pengamatan daripada teori. Dari ketiga definisi diatas tidak sekalipun disinggung mengenai apakah praktis itu baik atau buruk. Pragmatis sedikit menjurus pada kesimpulan "praktis". Jika di sepakbola-kan, sepakbola pragmatis merupakan sepakbola yang mengutamakan kepraktisan yang masuk akal dan tidak bergantung pada teori.

Oleh karena itu, saya rasa pelatih manapun memerlukan cara berpikir pragmatis dalam dirinya. Pelatih dengan tim penuh bintang pun mesti memilih sepakbola pragmatis ketimbang sepakbola nilai yang njelimet soal rumusan taktikal. Apa pasal? Jauh dari kata mungkin ketika sebuah tim dengan materi kelas wahid contohlah PSG sekarang, Kylian Mbappe, Edinson Cavani, Neymar Junior, Angel Di Maria, menerapkan strategi catenaccio alias bertahan.

Faktanya, sepakbola pragmatis itu tidak melulu soal situasi darurat atau saat pelatih dihadapkan pada tim yang kualitas pemainnya berada dibawah rata-rata. Melainkan fleksibel. Bisa diandalkan dalam situasi apapun, mengingat kepraktisan tadi kuncinya.

Lantas sepakbola nilai dengan sepakbola pragmatis itu berkaitan erat? Sedikit iya namun lebih condong ke tidak! Bisa dibilang, sepakbola nilai itu kebalikan daripada sepakbola pragmatis. Itulah kenapa saya menawarkan dua pilihan kepada penuduh mourinho style itu. Pertama sepakbola pragmatis, kedua sepakbola nilai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun