Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Untuk Sepakbola Indonesia yang Lebih Damai

22 November 2017   20:58 Diperbarui: 23 November 2017   13:05 1920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika itu stadion Mashud WS mulai temaram, hujan masih enggan reda, dan lapangan pun mulai sedikit tergenang di beberapa titik. Saya memerhatikan dengan seksama setiap sudut stadion, semacam ritual yang tak pernah lupa dijalani sebelum pertandingan dimulai. Memang, tidak berarti apa-apa selain untuk berdamai dengan keadaan sekitar atau sekadar menikmati atmosfer sekaligus mengkondisikan adrenalin. 

Tidak ada hal-hal yang membuat saya cemas sore itu, tim berangkat dengan cap underdog, dari 36 tim U-12 yang berlaga di VIK Championship 2017 kami berhasil menembus 4 besar setelah dikalahkan SSB DK Private Tasikmalaya di semifinal. 

Sore itu kami akan menuntaskan pertandingan terakhir, perebutan tempat ke-3 dan 4 melawan salah satu SSB yang bertindak sebagai tuan rumah (sengaja tidak disebutkan nama-nya demi menjaga privasi). Seolah semua akan berjalan baik-baik saja. Karena memang dari awal sampai akhir kepemimpinan wasit dan kinerja panpel cukup baik. 

Beberapa saat lagi pertandingan akan segera dimulai. Perangkat pertandingan masih mengecek keadaan sekitar kemudian ada sebuah percakapan kode melalui tangan antara wasit utama, assisten wasit, dan Match Commisioner (Pengawas Pertandingan) bahwa laga sudah bisa dimulai.

Ada kebanggaan yang tidak bisa disembunyikan ketika berdiri di tactical area dengan suasana stadion yang cukup riuh. Padahal, notabene pertandingan tersebut hanyalah kategori usia dini. Betapa fanatisme sepakbola di Indonesia tidak bisa ditawar lagi merupakan yang paling gila. Namun, saat waktu terus bergulir kebanggaan yang membuncah itu perlahan memudar. Ada beberapa hal yang membuat saya kecewa, sebuah insiden yang cukup miris pun tercipta.

Di menit ke-8 tim kami berhasil mencetak gol dan tanpa bermaksud memprovokasi lawan sang pencetak skor berlari ke arah tribun VVIP untuk berselebrasi sebagaimana biasa seorang pemain pada umumnya. Saya sadar betul bahwa tim kami merupakan tamu dan dalam fase tersebut ada hal yang perlu diperhatikan: bersikap baik agar tidak mengundang keributan dari pemain lawan maupun supporter lawan. Termasuk dalam cara berselebrasi untuk merayakan gol tadi. Seketika saya berteriak dari kejauhan, "Sudah-sudah, kembali ke posisi. Main lagi!".

Seraya menunggu satu pemain mengakhiri selebrasi, saya memberikan intruksi kepada salah satu pemain yang berada dekat dengan saya. "Kita main enjoy, gak perlu terlalu ngotot. Hati-hati pertahanan!", banyak faktor yang membuat saya memutuskan untuk berbicara demikian. Pertama, karena di pertandingan usia dini setiap tim yang mencetak gol paling awal memiliki peluang menang yang tinggi mengingat durasi waktu dalam satu pertandingan amat sedikit, hanya 10 menit saja. Kedua, di bench cadangan hanya tersisa satu pemain jadi saya ingin meminimalisir terjadinya cedera. Dan, terakhir, karena memang saya menyadari bahwa kita harus bermain hati-hati apalagi bertindak sebagai tim away.

Apalagi sebelum turun ke lapangan, ada salah satu rekan pelatih dari Ciamis yang memperingatkan saya jika bermain dengan tim tersebut harus berhati-hati. Satu pemain-nya telah menjadi korban kebrutalan, di semifinal Ia harus rela kehilangan satu pemain nya akibat tekel brutal yang menyebabkan pemain andalannya patah kaki.  Ia berpesan, untuk jangan terlalu ngotot melawan tim keras seperti itu. "Kita harus berpikir pragmatis coach, jangan sampai ada hal-hal yang tidak diinginkan!".

Saya memahami betul jika tim yang tengah dihadapi ini karakternya memang keras. Tanpa kompromi, kadang dalam situasi tertentu mereka memperlihatkan sikap frustasi-nya. Benar saja, aksi-aksi provokasi dari pemain lawan mulai dipertontonkan. Hingga puncaknya, terjadi sebuah duel 1 vs 1, pemain saya memang berposisi sebagai pelaku tekel kategori professional foul dan pemain lawan sebagai korban.

Pemain bernomor punggung 25 yang baru saja dijatuhkan itu nampak tidak terima atas perlakuan pemain saya yang sedikit mengangkat kaki saat melakukan pelanggaran tersebut. Ia langsung mengeluarkan jurus kungfu, teknik MMA, karate, pencak silat, dan gerakan yang biasa kita lihat di olahraga bela diri lainnya. Menyerang perut pemain saya dengan kaki, sejurus kemudian sejumlah pemain lawan menghampiri keributan kecil tersebut, alih-alih memisahkan mereka malah ikut melakukan persekusi dengan mengeluarkan jotos.

Seketika, saya yang masih berdiri di area taktik langsung berlari ke tengah lapangan untuk memberikan keamanan bagi pemain saya sendiri. Entah dalam regulasi tindakan tersebut dibenarkan atau tidak. Saya hanya melakukan pertolongan/evakuasi bagi pemain saya yang jadi bulan-bulanan pemain lawan. Jika dalam regulasi salah, jadikanlah kesalahan tersebut sebagai kesalahan yang bisa dipermaklumkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun