Mohon tunggu...
Gigih Prayitno
Gigih Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Masih belajar agar dapat menulis dengan baik

Selanjutnya

Tutup

Hukum

7 Pasal Karet RKUHP Berpotensi Ancam Warga Indonesia

5 September 2019   07:07 Diperbarui: 19 September 2019   20:09 852
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demo Tolak RKUHP tahun 2018 | CNN

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan bahwa Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) sudah hampir tuntas dibahas dan bila sesuai dengan yang dijadwalkan maka RKUHP ini akan disahkan pada 24 September 2019 mendatang.

Namun ternyata sejumlah organisasi masyarakat seperti The Institute for Criminal Justice misalnya menyebutkan ada beberapa pasal yang berpotensi membuka ruang diskriminasi bagi banyak pihak seperti perempuan, wartawan dan beberapa pihak lainnya.

Selain itu, beberapa pasal lain dalam RKUHP ini dinilai bermasalah karena dinilai memiliki potensi menjadi pasal karet karena tafsir bebas yang ditimbulkan.

Kita sendiri tahu bahwa Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia saat ini adalah "warisan" dari produk Belanda yang sudah tertinggal 100 tahun yang lalu.

Sedangkan jalannya penggodokan dari RKUHP sendiri sudah berjalan sekitar 50 tahun.

Namun di sisi yang lain, RKUHP ini sendiri terlihat bermasalah, berikut tujuh ancaman pasal karet dan ruang diskriminasi dalam RKUHP.

1. Jerat Pada Korban Perkosaan

Pada pasal 470 RKUHP teranyar mencantumkan "bahwa setiap perempuan yang menggugurkan kandungannya atau meminta orang lain menggugurkan kandungannya dapat dipidana maksimal empat tahun."

Dalam peraturan pada RKUHP tersebut tidak dicantumkan pengecualian untuk jerat pidana aborsi tersebut seperti korban perkosaan ataupun aborsi karena alasan medis.

Padahal aborsi untuk alasan medis sudah diatur dalam Undang-Undang No 36 tahun 2009 tentang kesehatan yang memberikan pengecualian terkait aborsi diperbolehkan yakni untuk alasan medis dan kehamilan akibat perkosaan.

Bila pasal terkait aborsi pada RKUHP ini disahkan, maka apakah ada tanggung jawab dari negara terkait ancaman medis seperti meninggalnya ibu dan/atau anak tersebut.

Bagaimana dengan trauma pada korban perkosaan yang hamil? Jelas hal ini membuka celah sangat besar bagaimana perempuan berpotensi dalam ranah pidana, karena melakukan aborsi.

Lantas, bagaimana dengan pelakunya? 

2. Ancaman Terhadap Jurnalis

RKUHP juga mengancam wartawan/jurnalis dalam pasal yang membungkam kebebasan berekspresi dalam pasal 494 tentang Tindak Pidana Pembukaan Rahasia.

Pada pasal 494 draf RKUHP berbunyi "Setiap orang yang membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau profesinya baik rahasia yang sekarang maupun yang dahulu dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III".

Tentu saja frasa rahasia di pasal sini sangat multitafsir, tidak ada penjelasan lebih detail apa yang dimaksud dengan rahasia pada pasal ini.

Pasal ini menjadi ancaman karena wartawan kerap kali mendapat informasi rahasia dari pihak-pihak tertentu yang diungkapkan yang menjadi berita.

Jika wartawan ini mempublikasikan rahasia jabatan yang saat ini karena memang belum jelas apa itu rahasia jabatan yang ada di RKUHP, maka wartawan berada dalam bayang pidana penjara maksimal 2 tahun.

Tidak hanya terdapat 10 pasal di RKUHP yang berpotensi mengkriminalkan jurnalis dan media mulai dari pasal tentang penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden, pencemaran nama baik hingga penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara.

3. Pasal Penodaan Agama

Dalam Pasal 304 draf RKUHP tertuliskan "setiap orang di muka umum yang menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak kategori V"

Jika membaca pasal terkait penodaan agama ini, rasanya pasal ini akan menjadi pasal karet yang bisa menyerang siapa saja.

Perlu dijelaskan juga seperti apa pernyataan perasaan dan perbuatan yang bersifat permusuhan atau penodaan terhadap agama? Hal ini karena kadang apa yang diutarakan oleh seseorang mempunyai makna yang bercabang dari yang sebenarnya diutarakan.

Seseorang bisa saja menyatakan pendapatnya tanpa maksud untuk melakukan penodaan agama, namun ketika ada orang lain yang tersinggung maka dia bisa dibawa ke dalam ranah pidana.

Bila pasal ini disahkan maka akan timbul pelanggaran HAM karena tidak adanya kejelasan dan kepastian hukum.

5. Hewan Ternak Bisa Bawa Pemiliknya Didenda

Bila kita lihat di pedesaan, kita tentu saja sering melihat hewan ternak seperti ayam, bebek, sapi, kambing atau peliharaan lainnya masuk ke kebun atau lahan orang lain.

Namun ternyata ada aturan terkait hukum pidana bila ada hewan ternak kita berjalan di kebun atau tanah milik orang lain yang tertuang pada pasal 278-279 draf RKUHP yang bisa membuat kamu dikenai denda paling besar Rp 10 juta.

Pada pasal 278 tersebut berbunyi "Setiap orang yang membiarkan unggas yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori II."

Sedangkan pada pasal 279 tertulis "Setiap orang yang membiarkan ternaknya berjalan di kebun, tanah perumputan, tanah yang ditaburi benih atau penanaman, atau tanah yang disiapkan untuk ditaburi benih atau ditanami dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori II."

Sebenarnya pasal ini sudah tercantum pada pasal 548-549 KUHP, perbedaannya revisi terbaru tidak mencantumkan pidana penjara.

Pasal inipun menuai kontroversi karena hewan ternak dan unggas tidak dapat membaca tulisan "dilarang masuk lahan orang lain" dan bila pemilik harus mengawasi 24 jam hewan ternaknya, rasanya itu adalah hal yang tidak mungkin.

Pasal inipun berpotensi menjadi overkriminalisasi.

6. Pasal Karet tentang Zina

Pada pasal 484 ayat 1 huruf e di draf RKUHP menyatakan "Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan dapat dipidana dengan ancaman penjara paling lama lima tahun."

Kemudian pasal ini dilanjutkan dengan "Tindak pidana sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) tidak bisa dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, orangtua, dan anak."

Pada awalnya terlihat wajar, sampai kita menemukan frasa 'perkawinan yang sah'.

Frasa 'perkawinan yang sah' yang dimaksud adalah sebuah perkawinan yang dianggap sah dan diakui oleh negara dan tercatat menurut peraturan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Tapi nyatanya, berdasarkan Autralian Indonesia Partnership for Justice menyebutkan bahwa sebanyak 55 persen pasangan dari kalangan masyarakat miskin tidak mempunyai akta nikah.

Hal ini serupa dengan masyarakat adat yang kepercayaannya baru saja diakui oleh negara secara konstitusional beberapa tahun terakhir.

Pasal ini akan mengancam mereka yang tidak mempunyai akta nikah namun telah hidup bersama dalam bermasyarakat dan menikah secara sah dalam agama tapi tidak tercatat oleh negara berpotensi akan masuk bui.

7. Netizen yang 'Hina' Presiden Terancam Penjara

Dalam draf RKUHP ini juga terdapat "pasal lama" yang dikenbalikan, yakni pasal mengenai pidana penghinaan presiden yang tercantum di pasal 218, 219, 220, dan 224.

Pasal 218 ayat 1 berbunyi "Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV,"

Sedangkan ayat 2 berbunyi "Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri,".

Pasal 219 berbunyi "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV,".

Pasal 220 ayat 1 berbunyi "Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan. Ayat 2 berbunyi "Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat dilaksanakan oleh kuasa presiden atau wakil Presiden,".

Sedangkan Pasal 224 menyatakan, "setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV."

Hal ini sangat kontradiktif, karena pasal penghinaan presiden pernah diajukan dan dibatalkan oleh MK pada tahun 2006 silam, hal ini karena pasal penghinaan presiden dinilai oleh MK melabrak konstitusi.

MK menyatakan pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam Perkara Nomor Nomor 013-022/PUU-IV/2006 yang pernah diajukan sebelumnya bersifat inkonstitusional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun