Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Politik Sepak Bola

2 Februari 2024   09:56 Diperbarui: 2 Februari 2024   10:01 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Reto Scheiwiller/Pixabay

Sepak bola memang "sekadar" olahraga permainan. Tapi nyatanya memiliki efek luas. Efeknya menjangkau isu keamanan, wisata, ekonomi, dan politik. Skalanya bisa merambah level nasional hingga internasional. Mau bukti?

Coba tengok tahun 2023 saat Indonesia terpilih jadi penyelenggara Piala Dunia U-20. Presiden Jokowi begitu bersemangat menyambutnya. Ketum PSSI Erick Tohir begitu sigap berbenah. Gibran Rakabuming wali kota Solo ikut sibuk membenahi lapangan sepakbola di wilayahnya yang kebetulan ikut terpilih menjadi ajang pertandingan. Masyarakat luas antusias, lebih-lebih para atlet timnas sepakbola U-20. Ada eforia positif saat itu.

Namun, beberapa minggu menjelang perhelatan, muncul penolakan dari Ganjar Pranowo Gubernur Jawa Tengah saat itu. Ganjar menolak kehadiran timnas Israel U-20 yang kebetulan lolos kualifikasi. Alasannya karena memegang teguh amanat Bung Karno untuk terus mendukung kemerdekaan Palestina. Penolakan ini banyak dipertanyakan karena pihak Palestina yang notabene paling berhak "memboikot" Israel justru tidak mempermasalahkan keikutsertaan timnas Israel di Piala Dunia U-20 di Indonesia.

Di Bali, Gubernur I Wayan Koster juga menyuarakan penolakannya atas partisipasi timnas Israel. Gubernur Bali I Wayan Koster merupakan rekan separtai Ganjar Pranowo. Cukup logis untuk menyimpulkan bahwa penolakan itu tentu bersumber dari kebijakan partai dan seizin ketua umumnya.

Apa pun itu, akhirnya FIFA membatalkan penunjukan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 tahun 2023. Apakah Jokowi kecewa? Pastinya iya. Tapi beliau hanya diam saja. Seolah pasrah pada stigma bahwa kekuasaannya tak ada apa-apanya berhadapan dengan partai yang menaunginya. Kebijakan dan harapannya dengan mudah "dijegal" dan dipecundangi. Karena gubernur-gubernurnya terbukti lebih patuh pada partai daripada pada presidennya.

Bagaimana dengan Gibran? Tentunya ikut kecewa juga. Tapi hanya bisa pasrah. Gibran cuma wali kota. Gak level kalau harus melawan kebijakan gubernur yang jadi atasannya. Seperti halnya Jokowi yang seakan tak berdaya "dijajah" partai yang menaunginya, Gibran akhirnya cuma bisa "mencatat" baik-baik. Mungkin sambil berdoa dan menunggu saat yang tepat untuk "MEMBALAS".

Dan, dinamika politik pun menunjukkan jalannya. Jokowi dan Gibran bertemu momentum yang tepat. Jadi begitulah. Meski mungkin bukan satu-satunya, drama gagalnya Piala Dunia U-20 di Indonesia itulah yang memicu kondisi politik saat ini. Drama gagalnya penyelenggaraan Piala Dunia U-20 di Indonesia itulah yang memicu Gibran "menyeberang". Drama gagalnya penyelenggaraan Piala Dunia U-20 di Indonesia itulah yang membuat Jokowi sekarang seakan menarik diri dari partai yang (pernah) menaunginya.

Terbukti, bukan? Masalah sepak bola memang tidak sesederhana permainan dua tim di lapangan rumput. Masalah sepak bola mampu membelokkan skenario politik nasional. Kalau boleh berspekulasi, masalah sepak bola U-20 itu juga ada efeknya secara internasional. Kita bisa lihat rumah sakit Indonesia di Gaza sama sekali tidak mendapat "keistimewaan" dari Israel. Rumah Sakit Indonesia di Gaza ikut dibombardir. Jangan-jangan itu akibat sakit hati Israel karena timnasnya ditolak Indonesia. Ah, sepertinya hanya kebetulan..

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun